Saturday, November 14, 2020

GARA-GARA SYAFI’I INSTITUTE

Pare atau  kota dengan sebutan Kampung Inggris menjadi salah satu tempat yang ingin aku kunjungi setelah Surabaya dan Madura. Tiga tahun lalu, sempat aku tulis dalam list target hidupku. Hingga akhirnya, aku bisa sampai ke Pare karena program Beasiswa Kursus Bahasa Inggris dari Syafi’i Institute Scholarship.

Tentu program ini sangat membantu untuk mewujudkan cita-cita seseorang dalam belajar dan terus berproses mencari pengalaman. Ada dua kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang lulus dan mengikuti program ini, aku dan dek Atun. Arahan, bimbingan dan motivasi selalu mengalir untuk mensukseskan program Syafi’i Institute Scholarship ini.

Gara-gara Syafi’i Institute juga, aku memiliki tips buat kalian yang mau ke Pare untuk pertama kalinya.

Pertama, kenali dirimu. Kamu harus tahu, sudah sejauh mana kemampuanmu tentang bahasa Inggris. Apakah yang kamu tahu hanya Yes/No saja atau lebih.

Kedua, apa tujuanmu belajar? Mau lanjut study, mendaftar beasiswa, mencari kerja, atau hanya buat “bergaya” saja. Tujuanmu ke Pare ini penting, karena ada kaitannya dengan program yang akan kamu pilih. Biar waktumu tidak terbuang percuma. Semisal, kalau mau ikut mendaftar beasiswa S2 LPDP, salah satu syaratnya adalah TOEFL dengan skor 500, jadi langsung aja ambil program TOEFL.

Ketiga,  pilih lembaga yang sesuai dengan program yang mau kamu pilih. Karena setiap lembaga punya “spesifikasi” program masing-masing.

Terakhir, tentukan kamu mau kos/camp. Jika itu adalah kali pertama kamu ke Pare dan tidak ada kenalan atau teman sama sekali lebih baik pilih camp saja.

Nah, program Beasiswa Kursus Bahasa Inggris di Pare dari Syafi’i Institute Scholarship ini mengambil program TOEFL Camp Logico. Jadi sudah sepaket kelas belajar dan tempat tinggal. Lingkungan campnya juga kondusif dan asyik.

Berhati-hatilah disana, sebab Pare itu jahat. Kita datang tanpa membawa kenangan dan harus pulang dengan menumbuhkan kerinduan. Pare selalu meminta untuk dijajaki kembali, ada banyak ilmu disana.

Tapi kalian tenang saja, Pare masih punya sisi baik. Di Pare banyak makanan yang enak dengan harga yang bersahabat. Jadi, ayo segera agendakan datang ke Pare. Belajar dengan nyaman, makan dengan nikmat, dan jangan lewatkan program belajar di Pare dari Syafi’i Institute ya.

 

*Laila Fajrin; Penerima beasiswa Syafi’i Institute Scholarship tahun 2019

Monday, November 9, 2020

HARI PAHLAWAN; REFLEKSI PERAN PEMUDA DALAM MERAWAT NILAI TOLERANSI DAN PERDAMAIAN

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”

Oleh : Laila Fajrin


Mayoritas bangsa Indonesia telah mengetahui bahwa setiap tanggal 10 November selalu di peringati sebagai hari pahlawan. Akan tetapi, tidak banyak yang memahami latar belakang mengapa tanggal 10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan. Peringatan hari pahlawan dimaksudkan untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran bahkan nyawanya untuk memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia dari tangan para penjajah.

Dahulu setelah Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 kondisi Indonesia masih semrawut dan belum stabil. Ancaman peperangan dan pemberontakan sangat masif di lakukan oleh tentara sekutu. Pertempuran Surabaya menjadi salah satu saksi kerusuhan hebat pasca kemerdekaan yang menewaskan ribuan orang Indonesia saat melawan pasukan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). 

Pertempuran Surabaya berawal dari maklumat yang dikeluarkan oleh Presiden pertama Indonesia bapak Ir. Soekarno untuk mengibarkan bendera merah putih di seluruh wilayah termasuk Surabaya pada tanggal 1 September 1945. Bersamaan dengan hal itu, NICA dan AFNEI datang untuk melucuti dan memulangkan tentara Jepang ke negaranya serta bermaksud mengembalikan Indonesia menjadi negara jajahan Belanda. Bendera Belanda juga dikibarkan di puncak hotel Yamato. Sikap ini memantik kemarahan warga Surabaya yang menganggap bahwa NICA dan AFNEI telah menginjak-nginjak sang saka merah putih dan harga diri kemerdekaan Indonesia.

Pemuda Indonesia tidak tinggal diam dan segera mengambil sikap yang tegas. Banyak pemuda yang berdemo di depan hotel Yamato dan menyobek warna biru pada bendera Belanda  sehingga menyisakan merah putih saja. Mereka juga sempat berunding dengan pihak Belanda pada tanggal 27 Oktober 1945. Pertemuan ini tidak menghasilkan kesepakatan apapun, justru semakin ada pada situasi yang saling bersitegang hingga terjadi kegaduhan antara Ploegman dan Sidik yang mengakibatkan walikota Surabaya yang di tunjuk NICA itu tewas.

Tepat pada tanggal 29 Oktober 1945, Indonesia dan Inggris sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Akan tetapi, keesokan harinya, mereka bentrok hingga menyebabkan pimpinan tentara Inggris yang bernama Jenderal Mallaby tewas dalam mobilnya yang terbakar akibat di ledakan oleh milisi. Pada tanggal 9 November 1945 sekutu mengeluarkan ultimatum kepada warga Surabaya atas perintah Mayor Jenderal Robert Mansergh yang menggantikan tugas Mallaby. Ultimatum tersebut menegaskan bahwa seluruh warga Surabaya wajib menyerahkan senjata yang dimiliki kepada tentara sekutu sebelum pukul 06.00 pagi pada tanggal 10 November 1945. Tentu ultimatum ini semakin menyulut amarah warga Surabaya sehingga terjadi pertempuran 10 november 1945.

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 316 tahun 1959 maka setiap tanggal 10 November akan di tetapkan sebagai hari pahlawan untuk memperingati pertempuran di Surabaya yang mengakibatkan banyak pejuang nasional meregang nyawa melawan penjajahan Inggris dan Belanda.

Dalam tragedi pertempuran 10 November, juga ada beberapa tokoh kenamaan yang gugur di medan perang seperti Bung Tomo yang dikenal dengan orasi-orasi yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat di berbagai siaran radio. Selain itu juga ada tokoh kunci seperti KH. Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah. Jasa-jasa mereka ini tidak dapat serta merta dilupakan begitu saja. Semangat perjuangan, sikap nasionalisme dan nilai-nilai luhur yang di ajarkan oleh para pejuang harus tetap di rawat, khususnya oleh para generasi muda bangsa Indonesia.

Pemuda Merawat Toleransi dan Perdamaian

Pemuda yang hidup di era milenial tentu tidak menyaksikan secara langsung bagaimana para pejuang kemerdekaan mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menyelesaikan konflik penjajahan Belanda, Inggris dan Jepang. Tapi sudah sepatutnya para pemuda turut serta merawat nilai-nilai luhur yang dibawa oleh para pahlawan. Mengutip pesan Bung Karno yang sudah familiar di telinga orang Indonesia, bahwa sebuah negara yang besar adalah yang tidak melupakan jas merah atau sejarahnya. Tanpa jasa dan pengorbanan para pahlawan tentu Indonesia tidak akan menjadi bangsa seperti sekarang ini. Kemerdekaan negara Indonesia bukan hadiah dari negara lain, melainkan hasil dari perjuangan dan pengorbanan para syuhada pejuang kemerdekaan dan founding fathers yang beraneka ragam latar belakangnya. Mereka berjuang dari masa mulai merebut kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi. Sayangnya, refleksi peringatan hari pahlawan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Banyak generasi muda yang semakin tidak menghayati makna hari pahlawan.

Peringatan hari pahlawan seharusnya tidak sekedar seremonial belaka. Tetapi mampu merefleksikan nilai-nilai yang diajarkan oleh para pahlawan di berbagai lini kehidupan seperti menebar perdamaian antar sesama manusia dan tidak menciptakan perpecahan melalui aksi intoleransi maupun diskriminasi. Bangsa Indonesia di abad ke-21 sangat membutuhkan banyak pahlawan baru untuk melanjutkan perjuangan menjadikan Indonesia negara yang aman, damai, adil dan demokratis.

Belakangan ini negara Indonesia sedang diwarnai berbagai kasus yang pelik. Demontrasi menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang ramai di galakkan, seperti RUU-PKS dan RUU Perlindungan PRT. Ada pula seruan aksi akibat penolakan terhadap UU Omnius Law yang terjadi dimana-mana hampir setiap kota. Banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hak keadilan, hidup aman dan sejahtera. Disinilah, peran generasi muda di nanti oleh berbagai elemen masyarakat. Pemuda Indonesia haruslah menjadi tonggak dan memberikan makna baru dengan mengisi sejarah kemerdekaan sesuai perkembangan zamannya.

Menjelang akhir tahun 2020, ada banyak kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Mulai dari tingginya pelanggaran kekerasan berkeyakinan dan beragama seperti pelarangan pembangunan fasilitas tempat beribadah bagi kaum-kaum minoritas yang di intimidasi, direstriksi dan di diskriminasi bahkan ada yang sampai di persekusi. Padahal jika menilik pada pasal 28E ayat (1) dan (2)  serta pasal 29 ayat (2)  UUD RI 45 dijelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk beragama dan beribadah. Selain permasalahan tersebut, Indonesia juga krisis keadilan, perlindungan, keamanan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan. Meskipun eksistensi perempuan mulai terlihat di ranah publik. Masyarakat yang sengaja di lemahkan ini membutuhkan uluran tangan dan dukungan dari para pemuda yang menjadi penerus perjuangan nilai-nilai kemanusiaan yang di wariskan oleh para pejuang kemerdekaan.

Mencoba belajar dari sikap para pahlawan terdahulu. Mereka memiliki karekteristik seorang pahlawan yang jujur, pemberani serta rela melakukan apapun demi kebaikan dan kemaslahatan orang banyak. Setiap pribadi manusia adalah pahlawan. Jika belum bisa menjadi pahlawan bagi orang lain maka minimal bagi diri sendiri dan keluarga. Setidaknya sebagai pemuda Indonesia harus mampu untuk bertanya kepada diri sendiri apakah siap dan rela mengorbankan waktu untuk mengembangkan kemampuan pada bidang yang di minati.

Mari kita peringati hari pahlawan dengan menanamkan semangat baru untuk ikut serta membangun NKRI, tidak hanya numpang tidur saja. Inilah moment bagi para pemuda untuk mengenang jasa dan pengorbanan para pahlawan serta ruang untuk mendialogkan diri sekaligus ber-muhasabah untuk merenungi kontribusi apa yang dapat di berikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia

 

Note : Tulisan ini diikutkan dalam seleksi calon Duta Damai Yogyakarta

Kunjungi website Duta Damai Yogyakarta melalui link berikut : https://dutadamaiyogyakarta.id


Tuesday, November 3, 2020

MINI STORY OF KPG SANTRI GUS DUR


“Kita adalah produk dari keputusan-keputusan yang kita ambil, bukan produk dari keadaan”

–Jay Ahmad, 2020–

 

Sejak hari Jum’at tanggal 23 Oktober 2020, aku mengikuti kegiatan Kelas Pemikiran Gus Dur atau yang sering disebut KPG. Kegiatan ini di adakan oleh komunitas Santri Gus Dur Jogja dan diikuti sebanyak 48 peserta dari berbagai latar belakang.

Setiap peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk saling berdiskusi guna bertukar pikiran terkait dengan sosok Gus Dur dan gagasan-gagasan yang telah diwariskan. Masing-masing kelompok dipandu oleh satu fasilitator. Mas Ziko adalah fasilitator yang membersamai kelompokku; Jenderal Hoegeng.

Ada yang unik dari kelompok ini, setiap anggota sering menyapa anggota yang lain dengan sapaan akrab; “Jenderal”. Menarik bukan?

Btw, ini adalah kali pertama aku mendengar nama Jenderal Hoegeng. Jangan diketawain ya! Wkwkwk~

Berbekal kuota internet, aku mencari tahu sebenarnya siapa Jenderal Hoegeng? Ternyata Jenderal Hoegeng Imam Santoso adalah seorang pahlawan Indonesia yang lahir di Pekalongan pada tahun 1921, beliau pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ke-5. Setelah beliau wafat, namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit Bhayangkara di Mamuju, Sulawesi Barat. Selain aktif di dunia kepolisian, ternyata Jenderal Hoegeng terkenal sebagai kelompok pemusik Hawai di The Hawaiian Seniors sebagai seorang penyanyi sekaligus pemain ukulele. Pas banget sama latar belakang fasilitator kelompok 2 yang juga mendalami dunia seni di ISI Yogyakarta. Next time, akan ku buat catatan kecil untuk Pahlawan Indonesia yang telah membersamai pergerakan kelompok 2 di KPG tahun ini serta apakah ada keterkaitan antara beliau dengan sosok Gus Dur? Doakan ya!

_______

Berbicara tentang sosok Abdurrahman Wahid atau yang sering disapa Gus Dur sebenarnya sudah tidak asing lagi ditelingaku. Sejak di Semarang, aku sudah berproses bersama dengan teman-teman di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Walisongo Semarang. Pemakaian nama Gus Dur sebagai nama rayon tentu bukan tanpa alasan. Sosok beliau memang luar biasa menginspirasi berbagai kalangan. Aku pikir, beberapa tahun bertumbuh di Rayon Gus Dur cukup memberikanku pengetahuan yang luas tentang sosok Gus Dur. Ternyata setelah mengikuti KPG, apa yang aku ketahui masih sangat dangkal.

Setelah 3 hari mengikuti serangkaian acara dari kelas pemikiran Gus Dur, aku cukup ‘mantuk-mantuk’ dan juga ‘geleng-geleng’ karena ada banyak sekali hal yang baru aku ketahui tentang sosok bapak pluralisme Indonesia ini.

Ku pikir aku cukup mengenal pemikiran beliau, ternyata aku salah. Sosok Gus Dur benar-benar multidimensi. Gus Dur dapat menerobos berbagai ruang dalam satu waktu. Perjalanan hidup Gus Dur bak simponi yang indah untuk di dengar ceritanya, selalu menarik dan menakjubkan. Apalagi kalau yang bercerita adalah sahabat Gus Dur seperti Kyai Husein, Gus Mus dan Mas Marzuki Wahid.

Saat membahas biografi Gus Dur, aku baru meyadari ada dampak yang cukup besar terkait dengan Gus Dur kecil yang bersekolah di sebuah Sekolah Dasar Kristen bernama SD Matraman Perwari di Jakarta. Bagi orang awam, melihat sosok Kyai sekaligus Menteri Agama menyekolahkan anaknya di sekolah yang memiliki background berbeda pasti akan menjadi sebuah kontroversi. Disinilah benih-benih rasa penasaranku muncul, sebenarnya apa alasan kyai Wahid Hasyim menyekolahkan Gus Dur di sekolah Kristen dan bagaimana proses awal Gus Dur berkenalan dengan dunia barat, mengingat saat SMEP di Yogyakarta Gus Dur sudah membaca buku-buku barat seperti Das Kapital yang di tulis oleh Karl Marx, Filsafat Plato dan juga Filsafat Aristoteles tetapi masih jadi santri di beberapa pesantren besar. Ini sangat menarik untuk dikaji. Iyakan?

Nah, pasca berpulangnya Gus Dur ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa. Lahirlah 9 Nilai Utama Gus Dur yang sempat dikupas dan direfleksikan dalam river of life selama KPG di sesi Kelas Pemikiran berlangsung. Inilah bagian yang memberikan kesan terdalam bagi  peserta seperti aku dan mas Bibul, setidaknya itu yang aku dengar dari beberapa teman saat di tanya oleh mas Sholikhin, Fasilitator KPG dari Seknas GUSDURian. Kadang aku berfikir dan membayangkan bagaimana keluarga Gus Dur, para sahabat, murid-murid dan muhibbin beliau merumuskannya. Pasti tidaklah mudah, butuh waktu yang panjang dan analisis yang mendalam terkait sepak terjang dari sosok Gus Dur.

Di tanggal 24 Oktober, aku dan teman-teman peserta KPG di suguhkan materi dan diajak berdiskusi tentang gagasan Gus Dur terkait keislaman, kebudayaan dan demokrasi. Materi ini disampaikan oleh teh Wiwin dari Srikandi Lintas Iman (Srili Jogja). Teh Wiwin berkata bahwa perjuangan Gus Dur memang murni membela kaum-kaum tertindas. Visinya adalah memanusiakan manusia. Tidak peduli dari mana asalnya, apa ras, suku dan bangsanya, apa agamanya, apa warna kulit tubuhnya, apa jenis kelaminnya, selama dia adalah manusia yang perlu di bela hak-haknya, maka disitulah Gus Dur siap pasang badan.

Selain membahas gagasan Gus Dur, panitia juga menyajikan materi tentang personal leadership atau kepemimpinan yang disampaikan oleh mas Jay Ahmad selaku koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian. Berbagai motivasi yang membangun datang menghunjam pikiranku, tentu juga dengan peserta yang lain. Salah satu yang paling melekat adalah saat mas Jay menyampaikan ucapan dari seorang tokoh sufi bernama Rumi yang mengatakan bahwa ‘Kemarin aku pintar, aku akan merubah dunia. Hari ini akau bijak, aku akan merubah diriku sendiri’. Nasehat yang membawaku untuk merefresh niat dalam belajar. Ya, seperti sedang ditegur untuk terus bertumbuh dalam kebaikan dan introspeksi diri.

Mas Jay secara apik membedah buku Seven Habits yang di tulis oleh Sthephen Covey. Buku yang menceritakan tentang tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif. Seperti sedang meditasi, mas Jay menjelaskan bahwa menjadi manusia harus proaktif. Tidak berpangku tangan dan terus grow up. Jika kita ingin perubahan kecil dalam hidup maka cukup dengan merubah perilaku, tetapi jika kita menghendaki perubahan besar maka ubahlah paradigma atau cara pandang, itulah salah satu kutipan dari buku Stephen Covey.

Ada banyak hal yang aku rasakan berbeda setelah mengikuti kelas pemikiran Gus Dur. Sebagian aku sampaikan melalui cerita sederhana di atas. Sebagian masih ku simpan di sanubari. Aku percaya, Gus Dur adalah pahlawan dan beliau tidak pernah benar-benar meninggalkan kita meski telah dimakamkan. Segala kebaikan yang di contohkan oleh Gus Dur masih tumbuh dengan subur. Aku juga percaya, bahwa setiap kebaikan selalu memiliki teman. Mungkin dengan merawat pluralisme untuk kemaslahatan umat manusia, juga bangsa dan negara serta menebar gagasan pemikiran Gus Dur adalah cara yang paling sederhana untuk mengenang dan menjadikan Gus Dur sosok inspiratif.

Selamat jalan Gus. Kami merindukanmu..

ilaa hadhoroti khususon Kyai Abdurrahman Wahid allahuyarham, al-fatihah..

________

Yogyakarta, 04-11-2020

Al-fakir al-dhoif,

Laila Fajrin