“Kita adalah produk dari keputusan-keputusan yang
kita ambil, bukan produk dari keadaan”
–Jay Ahmad, 2020–
Sejak
hari Jum’at tanggal 23 Oktober 2020, aku mengikuti kegiatan Kelas Pemikiran Gus
Dur atau yang sering disebut KPG. Kegiatan ini di adakan oleh komunitas Santri
Gus Dur Jogja dan diikuti sebanyak 48 peserta dari berbagai latar belakang.
Setiap
peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk saling berdiskusi guna
bertukar pikiran terkait dengan sosok Gus Dur dan gagasan-gagasan yang telah
diwariskan. Masing-masing kelompok dipandu oleh satu fasilitator. Mas Ziko adalah
fasilitator yang membersamai kelompokku; Jenderal Hoegeng.
Ada yang
unik dari kelompok ini, setiap anggota sering menyapa anggota yang lain dengan
sapaan akrab; “Jenderal”. Menarik bukan?
Btw, ini
adalah kali pertama aku mendengar nama Jenderal Hoegeng. Jangan diketawain ya!
Wkwkwk~
Berbekal
kuota internet, aku mencari tahu sebenarnya siapa Jenderal Hoegeng? Ternyata Jenderal
Hoegeng Imam Santoso adalah seorang pahlawan Indonesia yang lahir di Pekalongan
pada tahun 1921, beliau pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang ke-5. Setelah beliau wafat, namanya diabadikan sebagai
nama rumah sakit Bhayangkara di Mamuju, Sulawesi Barat. Selain aktif di dunia
kepolisian, ternyata Jenderal Hoegeng terkenal sebagai kelompok pemusik Hawai
di The Hawaiian Seniors sebagai seorang penyanyi sekaligus pemain ukulele. Pas
banget sama latar belakang fasilitator kelompok 2 yang juga mendalami dunia seni
di ISI Yogyakarta. Next time, akan ku buat catatan kecil untuk Pahlawan
Indonesia yang telah membersamai pergerakan kelompok 2 di KPG tahun ini serta
apakah ada keterkaitan antara beliau dengan sosok Gus Dur? Doakan ya!
_______
Berbicara
tentang sosok Abdurrahman Wahid atau yang sering disapa Gus Dur sebenarnya
sudah tidak asing lagi ditelingaku. Sejak di Semarang, aku sudah berproses
bersama dengan teman-teman di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon
Abdurrahman Wahid Komisariat Walisongo Semarang. Pemakaian nama Gus Dur sebagai
nama rayon tentu bukan tanpa alasan. Sosok beliau memang luar biasa
menginspirasi berbagai kalangan. Aku pikir, beberapa tahun bertumbuh di Rayon
Gus Dur cukup memberikanku pengetahuan yang luas tentang sosok Gus Dur.
Ternyata setelah mengikuti KPG, apa yang aku ketahui masih sangat dangkal.
Setelah 3
hari mengikuti serangkaian acara dari kelas pemikiran Gus Dur, aku cukup ‘mantuk-mantuk’
dan juga ‘geleng-geleng’ karena ada banyak sekali hal yang baru aku
ketahui tentang sosok bapak pluralisme Indonesia ini.
Ku pikir
aku cukup mengenal pemikiran beliau, ternyata aku salah. Sosok Gus Dur
benar-benar multidimensi. Gus Dur dapat menerobos berbagai ruang dalam satu
waktu. Perjalanan hidup Gus Dur bak simponi yang indah untuk di dengar
ceritanya, selalu menarik dan menakjubkan. Apalagi kalau yang bercerita adalah
sahabat Gus Dur seperti Kyai Husein, Gus Mus dan Mas Marzuki Wahid.
Saat
membahas biografi Gus Dur, aku baru meyadari ada dampak yang cukup besar
terkait dengan Gus Dur kecil yang bersekolah di sebuah Sekolah
Dasar Kristen bernama SD Matraman Perwari di Jakarta. Bagi orang awam, melihat
sosok Kyai sekaligus Menteri Agama menyekolahkan anaknya di sekolah yang
memiliki background berbeda pasti akan menjadi sebuah kontroversi.
Disinilah benih-benih rasa penasaranku muncul, sebenarnya apa alasan kyai Wahid
Hasyim menyekolahkan Gus Dur di sekolah Kristen dan bagaimana proses awal Gus
Dur berkenalan dengan dunia barat, mengingat saat SMEP di Yogyakarta Gus Dur
sudah membaca buku-buku barat seperti Das Kapital yang di tulis oleh Karl Marx,
Filsafat Plato dan juga Filsafat Aristoteles tetapi masih jadi santri di
beberapa pesantren besar. Ini sangat menarik untuk dikaji. Iyakan?
Nah,
pasca berpulangnya Gus Dur ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa. Lahirlah 9 Nilai
Utama Gus Dur yang sempat dikupas dan direfleksikan dalam river of life
selama KPG di sesi Kelas Pemikiran berlangsung. Inilah bagian yang memberikan kesan
terdalam bagi peserta seperti aku dan
mas Bibul, setidaknya itu yang aku dengar dari beberapa teman saat di tanya
oleh mas Sholikhin, Fasilitator KPG dari Seknas GUSDURian. Kadang aku berfikir
dan membayangkan bagaimana keluarga Gus Dur, para sahabat, murid-murid dan
muhibbin beliau merumuskannya. Pasti tidaklah mudah, butuh waktu yang panjang dan
analisis yang mendalam terkait sepak terjang dari sosok Gus Dur.
Di
tanggal 24 Oktober, aku dan teman-teman peserta KPG di suguhkan materi dan diajak
berdiskusi tentang gagasan Gus Dur terkait keislaman, kebudayaan dan demokrasi.
Materi ini disampaikan oleh teh Wiwin dari Srikandi Lintas Iman (Srili Jogja).
Teh Wiwin berkata bahwa perjuangan Gus Dur memang murni membela kaum-kaum
tertindas. Visinya adalah memanusiakan manusia. Tidak peduli dari mana asalnya,
apa ras, suku dan bangsanya, apa agamanya, apa warna kulit tubuhnya, apa jenis
kelaminnya, selama dia adalah manusia yang perlu di bela hak-haknya, maka
disitulah Gus Dur siap pasang badan.
Selain
membahas gagasan Gus Dur, panitia juga menyajikan materi tentang personal
leadership atau kepemimpinan yang disampaikan oleh mas Jay Ahmad selaku
koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian. Berbagai motivasi yang
membangun datang menghunjam pikiranku, tentu juga dengan peserta yang lain.
Salah satu yang paling melekat adalah saat mas Jay menyampaikan ucapan dari
seorang tokoh sufi bernama Rumi yang mengatakan bahwa ‘Kemarin aku pintar, aku
akan merubah dunia. Hari ini akau bijak, aku akan merubah diriku sendiri’.
Nasehat yang membawaku untuk merefresh niat dalam belajar. Ya, seperti sedang
ditegur untuk terus bertumbuh dalam kebaikan dan introspeksi diri.
Mas Jay
secara apik membedah buku Seven Habits yang di tulis oleh Sthephen Covey. Buku yang
menceritakan tentang tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif. Seperti sedang
meditasi, mas Jay menjelaskan bahwa menjadi manusia harus proaktif. Tidak berpangku
tangan dan terus grow up. Jika kita ingin perubahan kecil dalam hidup
maka cukup dengan merubah perilaku, tetapi jika kita menghendaki perubahan besar
maka ubahlah paradigma atau cara pandang, itulah salah satu kutipan dari buku
Stephen Covey.
Ada banyak
hal yang aku rasakan berbeda setelah mengikuti kelas pemikiran Gus Dur. Sebagian
aku sampaikan melalui cerita sederhana di atas. Sebagian masih ku simpan di sanubari.
Aku percaya, Gus Dur adalah pahlawan dan beliau
tidak pernah benar-benar meninggalkan kita meski telah dimakamkan. Segala kebaikan yang di contohkan oleh Gus Dur masih tumbuh dengan subur. Aku juga
percaya, bahwa setiap kebaikan selalu memiliki teman. Mungkin dengan merawat pluralisme untuk
kemaslahatan umat manusia, juga bangsa
dan negara serta menebar gagasan
pemikiran Gus Dur adalah cara yang paling sederhana untuk mengenang dan menjadikan
Gus Dur sosok inspiratif.
Selamat jalan Gus. Kami merindukanmu..
ilaa hadhoroti khususon Kyai Abdurrahman Wahid allahuyarham, al-fatihah..
________
Yogyakarta,
04-11-2020
Al-fakir
al-dhoif,
Laila
Fajrin