Tuesday, November 3, 2020

MINI STORY OF KPG SANTRI GUS DUR


“Kita adalah produk dari keputusan-keputusan yang kita ambil, bukan produk dari keadaan”

–Jay Ahmad, 2020–

 

Sejak hari Jum’at tanggal 23 Oktober 2020, aku mengikuti kegiatan Kelas Pemikiran Gus Dur atau yang sering disebut KPG. Kegiatan ini di adakan oleh komunitas Santri Gus Dur Jogja dan diikuti sebanyak 48 peserta dari berbagai latar belakang.

Setiap peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk saling berdiskusi guna bertukar pikiran terkait dengan sosok Gus Dur dan gagasan-gagasan yang telah diwariskan. Masing-masing kelompok dipandu oleh satu fasilitator. Mas Ziko adalah fasilitator yang membersamai kelompokku; Jenderal Hoegeng.

Ada yang unik dari kelompok ini, setiap anggota sering menyapa anggota yang lain dengan sapaan akrab; “Jenderal”. Menarik bukan?

Btw, ini adalah kali pertama aku mendengar nama Jenderal Hoegeng. Jangan diketawain ya! Wkwkwk~

Berbekal kuota internet, aku mencari tahu sebenarnya siapa Jenderal Hoegeng? Ternyata Jenderal Hoegeng Imam Santoso adalah seorang pahlawan Indonesia yang lahir di Pekalongan pada tahun 1921, beliau pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ke-5. Setelah beliau wafat, namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit Bhayangkara di Mamuju, Sulawesi Barat. Selain aktif di dunia kepolisian, ternyata Jenderal Hoegeng terkenal sebagai kelompok pemusik Hawai di The Hawaiian Seniors sebagai seorang penyanyi sekaligus pemain ukulele. Pas banget sama latar belakang fasilitator kelompok 2 yang juga mendalami dunia seni di ISI Yogyakarta. Next time, akan ku buat catatan kecil untuk Pahlawan Indonesia yang telah membersamai pergerakan kelompok 2 di KPG tahun ini serta apakah ada keterkaitan antara beliau dengan sosok Gus Dur? Doakan ya!

_______

Berbicara tentang sosok Abdurrahman Wahid atau yang sering disapa Gus Dur sebenarnya sudah tidak asing lagi ditelingaku. Sejak di Semarang, aku sudah berproses bersama dengan teman-teman di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Walisongo Semarang. Pemakaian nama Gus Dur sebagai nama rayon tentu bukan tanpa alasan. Sosok beliau memang luar biasa menginspirasi berbagai kalangan. Aku pikir, beberapa tahun bertumbuh di Rayon Gus Dur cukup memberikanku pengetahuan yang luas tentang sosok Gus Dur. Ternyata setelah mengikuti KPG, apa yang aku ketahui masih sangat dangkal.

Setelah 3 hari mengikuti serangkaian acara dari kelas pemikiran Gus Dur, aku cukup ‘mantuk-mantuk’ dan juga ‘geleng-geleng’ karena ada banyak sekali hal yang baru aku ketahui tentang sosok bapak pluralisme Indonesia ini.

Ku pikir aku cukup mengenal pemikiran beliau, ternyata aku salah. Sosok Gus Dur benar-benar multidimensi. Gus Dur dapat menerobos berbagai ruang dalam satu waktu. Perjalanan hidup Gus Dur bak simponi yang indah untuk di dengar ceritanya, selalu menarik dan menakjubkan. Apalagi kalau yang bercerita adalah sahabat Gus Dur seperti Kyai Husein, Gus Mus dan Mas Marzuki Wahid.

Saat membahas biografi Gus Dur, aku baru meyadari ada dampak yang cukup besar terkait dengan Gus Dur kecil yang bersekolah di sebuah Sekolah Dasar Kristen bernama SD Matraman Perwari di Jakarta. Bagi orang awam, melihat sosok Kyai sekaligus Menteri Agama menyekolahkan anaknya di sekolah yang memiliki background berbeda pasti akan menjadi sebuah kontroversi. Disinilah benih-benih rasa penasaranku muncul, sebenarnya apa alasan kyai Wahid Hasyim menyekolahkan Gus Dur di sekolah Kristen dan bagaimana proses awal Gus Dur berkenalan dengan dunia barat, mengingat saat SMEP di Yogyakarta Gus Dur sudah membaca buku-buku barat seperti Das Kapital yang di tulis oleh Karl Marx, Filsafat Plato dan juga Filsafat Aristoteles tetapi masih jadi santri di beberapa pesantren besar. Ini sangat menarik untuk dikaji. Iyakan?

Nah, pasca berpulangnya Gus Dur ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa. Lahirlah 9 Nilai Utama Gus Dur yang sempat dikupas dan direfleksikan dalam river of life selama KPG di sesi Kelas Pemikiran berlangsung. Inilah bagian yang memberikan kesan terdalam bagi  peserta seperti aku dan mas Bibul, setidaknya itu yang aku dengar dari beberapa teman saat di tanya oleh mas Sholikhin, Fasilitator KPG dari Seknas GUSDURian. Kadang aku berfikir dan membayangkan bagaimana keluarga Gus Dur, para sahabat, murid-murid dan muhibbin beliau merumuskannya. Pasti tidaklah mudah, butuh waktu yang panjang dan analisis yang mendalam terkait sepak terjang dari sosok Gus Dur.

Di tanggal 24 Oktober, aku dan teman-teman peserta KPG di suguhkan materi dan diajak berdiskusi tentang gagasan Gus Dur terkait keislaman, kebudayaan dan demokrasi. Materi ini disampaikan oleh teh Wiwin dari Srikandi Lintas Iman (Srili Jogja). Teh Wiwin berkata bahwa perjuangan Gus Dur memang murni membela kaum-kaum tertindas. Visinya adalah memanusiakan manusia. Tidak peduli dari mana asalnya, apa ras, suku dan bangsanya, apa agamanya, apa warna kulit tubuhnya, apa jenis kelaminnya, selama dia adalah manusia yang perlu di bela hak-haknya, maka disitulah Gus Dur siap pasang badan.

Selain membahas gagasan Gus Dur, panitia juga menyajikan materi tentang personal leadership atau kepemimpinan yang disampaikan oleh mas Jay Ahmad selaku koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian. Berbagai motivasi yang membangun datang menghunjam pikiranku, tentu juga dengan peserta yang lain. Salah satu yang paling melekat adalah saat mas Jay menyampaikan ucapan dari seorang tokoh sufi bernama Rumi yang mengatakan bahwa ‘Kemarin aku pintar, aku akan merubah dunia. Hari ini akau bijak, aku akan merubah diriku sendiri’. Nasehat yang membawaku untuk merefresh niat dalam belajar. Ya, seperti sedang ditegur untuk terus bertumbuh dalam kebaikan dan introspeksi diri.

Mas Jay secara apik membedah buku Seven Habits yang di tulis oleh Sthephen Covey. Buku yang menceritakan tentang tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif. Seperti sedang meditasi, mas Jay menjelaskan bahwa menjadi manusia harus proaktif. Tidak berpangku tangan dan terus grow up. Jika kita ingin perubahan kecil dalam hidup maka cukup dengan merubah perilaku, tetapi jika kita menghendaki perubahan besar maka ubahlah paradigma atau cara pandang, itulah salah satu kutipan dari buku Stephen Covey.

Ada banyak hal yang aku rasakan berbeda setelah mengikuti kelas pemikiran Gus Dur. Sebagian aku sampaikan melalui cerita sederhana di atas. Sebagian masih ku simpan di sanubari. Aku percaya, Gus Dur adalah pahlawan dan beliau tidak pernah benar-benar meninggalkan kita meski telah dimakamkan. Segala kebaikan yang di contohkan oleh Gus Dur masih tumbuh dengan subur. Aku juga percaya, bahwa setiap kebaikan selalu memiliki teman. Mungkin dengan merawat pluralisme untuk kemaslahatan umat manusia, juga bangsa dan negara serta menebar gagasan pemikiran Gus Dur adalah cara yang paling sederhana untuk mengenang dan menjadikan Gus Dur sosok inspiratif.

Selamat jalan Gus. Kami merindukanmu..

ilaa hadhoroti khususon Kyai Abdurrahman Wahid allahuyarham, al-fatihah..

________

Yogyakarta, 04-11-2020

Al-fakir al-dhoif,

Laila Fajrin