Sunday, September 27, 2020

SKILL WITH PEOPLE


28 September 2020, saya akan mengikuti acara pelatihan yang di adakan oleh Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian. Untuk menambah wawasan sebelum mengikuti pelatihan, maka saya mencari beberapa referensi dan mereview materi dari video tentang skill with people yang disampaikan oleh dr. Sigit Setyawadi, SpOG dari MSO Indonesia.

Skill With People adalah sebuah buku garapan Less Giblin yang membahas pedoman hidup sukses di jenjang karir, keluarga, kehidupan bersosial dan bermasyarakat serta cara menjaring relasi yang baik.

Dalam video yang berdurasi sekitar 11 menit, dr. Sigit menjelaskan bahwa kemampuan skill with people penting untuk dimiliki dan dikuasi setiap orang. Kemampuan ini dapat mengantarkan siapa saja untuk meraih kesuksesannya. Beliau memaparkan bagaimana cara memahami manusia dan kodrat manusia.

Manusia dan segala aktifitasnya akan selalu bersinggungan dengan hidup kita. Perlu kita tahu bahwa orang lain cenderung tertarik pada dirinya sendiri dibanding diri kita. Sedangkan kita, berpotensi 10.000 kali lebih tertarik kepada diri kita dibanding orang lain yang ada di muka bumi ini. Coba kita ingat, apabila kita melihat sebuah foto dan di foto tersebut tidak ada potret gambar kita maka foto itu menjadi tidak begitu menarik lagi. Benar?

Saya pribadi membenarkan argumen diatas, karena terkadang hal itu saya rasakan. Foto yang didalamnya terdapat potret diri sendiri lebih menarik dibanding yang lain.

Hal diatas membuka mata kita bahwa kunci memahami orang lain karena semua orang tertarik pada dirinya sendiri sehingga jika ingin menarik perhatian orang lain maka harus berusaha tertarik kepadanya. Tentu saja hal ini tidak terlebas dari rasa suka dan disukai.

Lalu, bagaimana cara membuat diri kita disukai oleh orang lain?

Setiap orang menyukai orang lain yang ‘menyukai dirinya’ dan ‘sama dengan dirinya’. Maka, kita harus belajar untuk menyetujui pendapat orang lain dan berusaha menyamakan diri kita dengan orang lain. Contohnya saat berbicara dengan seseorang yang berasal dari kota Semarang, sedangkan kita juga tahu atau pernah berkunjung ke kota tersebut. Perbincangan menjadi nyaman dan nyambung karena “sama-sama” mengerti tentang kota Semarang.

Seni berbicara dengan orang lain juga perlu diperhatikan. Kita perlu memilih topik yang menarik bagi lawan bicara. Topik yang paling menarik bagi orang lain adalah berbicara tentang diri mereka sendiri. “Bagaimana kabar keluarga anda?” atau “Dimana anak anda belajar setelah lulusa SD kemarin”. Bukan berbicara tentang “saya”. Kita perlu membuat orang lain merasa penting. Merasa penting dalah perasaan yang tidak terpuaskan. Berbeda dengan makan dan minum. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan supaya seseorang merasa dianggap penting, yaitu: dengarkan mereka, puji dan hargai mereka, sebutkan nama mereka, berhenti sejenak sebelum menjawab mereka dan gunakan kata ‘anda/kamu’ dan ‘milik anda/kamu’, bukan kata ‘saya’ atau ‘milik saya’.

Jika kita sukses di fase suka dan disukai orang lain maka dalam hal berpendapat maka akan faham seninya. Setiap orang sering merasa bahwa apa yang di katakannya adalah sebuag kebenaran (persepsi). Jika ada yang tidak setuju dengan pendapat tersebut dapat di anggap sebagai orang lain yang tidak perlu di dengar pendapatnya. dr. Sigit menjelaskan jika kita ingin pendapatnya di dengar dan di setujui oleh orang lain maka terlebih dahulu harus belajar menyetujui pendapat orang lain. Kemudian baru berusaha masuk untuk mempengaruhi orang lain tersebut. Cara pertama tentu dengan mengetahui keinginannya dan menunjukkan bagaimana mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan melakukan apa yang anda ingin mereka lakukan.

 Orang lain cenderung skeptis dengan hal-hal apa saja yang dianggap menguntungkan diri kita. Sehingga dalam rangka meyakinkan orang lain, kita perlu menggunakan bantuan orang ketiga sebagai bukti atau penguat. Misal dalam sebuah team work, “Pak Raka telah memakai X, pendapatannya sekarang sudah melampaui target, bla... bla... blaa”

Nah, apakah orang lain akan langsung berkata ‘YA’? belum tentu.

Bagaimana cara membuat orang lain mengatakan ‘YA’?

Pertama, berikanlah alasan yang kuat dan rasional supaya mereka mengatakan ‘ya’ dan dalam sisi yang lain juga tidak merugikan kita.

Kedua, Ajukan pertanyaan yang potensi jawabannya adalah ‘ya’. Seperti, ‘apakah bapak ingin sehat’.

Ketiga, berikanlah kesempatan kepada orang lain pilihan untuk menjawab diantara dua ‘ya’. Misalnya, ‘sebaiknya kita bertemu selepas jam 9 atau sebelumnya ya?’

Di pembahasan terakhir, dr. Sigit menjelaskan perihal cara memuji orang lain. Manusia tidak hanya membutuhkan makan dan minum. Pujian menjadi makanan jiwa yang baik bagi semua orang. Terkadang seseorang disukai karena suka memuji. Jadi, mari kita belajar memuji orang-orang di sekitar kita. Hehehe... tentu pujian-pujian yang dilontarkan harus tulus dan yang dipuji perbuatannya, bukan orangnya.

Dr. Sigit memberikan masukan supaya kita tidak senang memberikan kritikan kepada orang lain karena tidak ada orang yang senang di kritik. Kritikan itu tidak membangun, yang membangun adalah pujian. Beri pujian jika melakukan hal baik dan jangan mengkritik orang jika berbuat kesalahan. Jika memang terpaksa memberikan umpan balik maka sampaikan dengan membuat sandwich 3 lapis. Contohnya, sebagai seorang atasan yang ingin mengkritik pegawai yang pemarah. Kita dapat mengingatkan dengan memberikan sandwich 3 lapis.

Lapis pertama, berilah 3 pujian. ‘ibu ini rajin, catatannya rapi dan tulisannya juga bagus sekali’.

Lapis kedua, berilah feed back yang menjadi umpan balik dari ‘kritan’ yang ingin di sampaikan. ‘yang perlu ditingkatkan hanya lebih bersabar dalam menghadapi orang lain’. Perlu diingat pula untuk tidak memberikan feed back secara berlebihan atau bertubi-tupi. Cukup satu atau dua feed back yang paling urgent.

Lapis ketiga, tutup dengan pujian. ‘selebihnya itu sangat keren’.

Nah, bisa nih diimplementasikan dalam kehidupan kita. Lebih enak di dengar dan tidak menyakiti perasaan orang lain.

Saya juga mengutip gagasan penting yang disampaikan oleh dr. Sigit. Beliau mengatakan bahwa “Ilmu itu tidak bernilai, yang bernilai adalah penggunaannya. Belajar apapun jika tidak digunakan maka akan sia-sia dan tidak bernilai”.

Mengapa? karena hidup itu tidak membayar atas apa yang kita pikirkan. Hidup membayar atas apa yang kita lakukan.

Terimakasih. Semoga catatan sederhana ini membawa berkah dan kelegaan di hati para pembaca. Mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan.

 

al-faqir al-dhoif

Laila Fajrin Rauf

Sumber : YouTube dengan link https://youtu.be/Mv39UMR0oE0

Friday, September 25, 2020

BETTY FRIEDAN; THE FEMININE MYSTIQUE


Hari Sabtu pukul 09.00 WIB, saya berhasil menuntaskan satu topik pembahasan di Ngaji Filsafat dengan tema Perempuan Berbicara Perempuan atau sering di kenal dengan istilah Feminisme. Kali ini, Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag yang belakangan saya tahu bahwa beliau merupakan salah satu dosen Fakultas Ushuluddin di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan tentang tokoh feminis dari Amerika Serikat yang bernama Betty Friedan. Bagi teman-teman aktivis feminis pasti akrab dengan nama Betty Friedan, atau bahkan sudah khatam membaca buku-buku karya Friedan yang berbicara tentang perempuan dan keperempuanan.

Jujur, saya baru berkenalan dengan Betty Friedan melalui penjelasan yang dipaparkan oleh Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. Karena ada i’tikad sederhana untuk mengenang dan mengingat materi atau kisah luar biasa dari Betty Friedan, akhirnya saya memutuskan untuk menulis sedikit pengetahuan yang mampu saya serap dari penjelasan beliau yang berdurasi sekitar 2 jam.

Siapa Betty Friedan?

Betty Friedan lahir di abad 20, tepatnya tahun 1921 dan meninggal dunia pada tahun 2008 di usianya yang ke 85. Friedan merupakan nama suaminya. Ditahun 1960, Betty Friedan menulis satu buku yang berjudul Feminine Mystique. Dia adalah seorang jurnalis yang aktif melakukan penelitian. Buku inilah yang akan menjadi titik awal lahirnya gelombang baru dalam dunia feminisme. Dari sini juga akhirnya muncul istilah emansipasi wanita. Betty Friedan juga mendirikan organisasi yang visinya menyadarkan para perempuan.

Ada gagasan apa di feminisnya Betty Friedan?

Pertanyaan ini menjadi dasar untuk mengenal lebih jauh tentang pemikiran Friedan. Pemikiran Friedan dipengaruhi dari hasil penelitiannya terhadap majalah maupun kora-koran yang di distribusikan kepada masyarakat luas, khususnya majalah perempuan yang cenderung berbicara tentang fashion, make-up, resep masakan maupun tips dalam berumah tangga. Sedangkan majalah laki-laki berisi tentang informasi sepakbola, olahraga, atau bisnis. Bagi Friedan, majalah-majalah ini menjadi salah satu bentuk dikotomi yang akhirnya menjadi akar lahirnya bias gender. Bukankah, majalah itu adalah majalah, tidak ada majalah berjenis laki-laki atau majalah berjenis perempuan. Jika pikiran kita masih membedakan antara majalah perempuan dan majalah laki-laki maka itulah yang ‘diserang’ oleh Friedan.

Kenapa perempuan perlu bergerak? Karena, nasib perempuan tidak terlalu bagus. Sayangnya, masih banyak perempuan yang tidak sadar akan hal tersebut dan cenderung menikmatinya. Friedan dalam bukunya tidak menyerang laki-laki, tapi justru menyerang perempuan supaya sadar dengan kondisi yang sedang dihadapi.

Mengutip penelitian dari Robert Jackson dan George Sorensen (2006), dijelaskan beberapa perbandingan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang. Di dunia properti, perempuan hanya memiliki 1% properti dunia. Artinya, 99% properti dunia atas nama laki-laki. 5% perempuan menjadi kepala Negara dan menteri dalam kabinet. Perempuan menghabiskan kurang lebih 60% waktunya untuk bekerja, lebih banyak dari bagian laki-laki yang hanya 40%. Akan tetapi, perlu di analisis bersama bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan lebih banyak, lebih capek dan cenderung ditempatkan di sektor yang tidak penting atau tidak cukup berpengaruh. Dari pekerjaan yang berat tersebut, perempuan memperoleh gaji 10% dari seluruh pendapatan. Perempuan juga mewakili 60% dari penyandang buta huruf dan 80% dari seluruh pengungsi bersama dengan anak-anaknya.

Nah, dari sinilah akhirnya muncul pembahasan tentang Filsafat Keadilan yang berbicara Equity (Fairness). Setara tidak hanya diberikan kesamaan, tetapi setara berarti diberikan keadilan. Situasinya bukan lagi persamaan, karena posisinya dari awal sudah jomplang. Keadilan inilah yang diperjuangkan oleh para feminis. Untuk itu dibutuhkan keberpihakan atau mainstreeming.

Kita tentu faham, bahwa budaya kita ini dibentuk oleh mayoritas laki-laki atau sering kita sebut “PERADABAN PATRIARKHI”. Sehingga dunia dibentuk versi laki-laki yang kadang tidak peka dengan kebutuhan perempuan. Itulah yang akhirnya melahirkan ketimpangan gender. Gender merupakan peran sosial laki-laki dan perempuan, berbeda dengan seks yang bersifat kodrati. Karena gender ini merupakan peran, maka gender dapat dibentuk melalui kesepakan. Sayangnya, meski melalui kesepakatan, tugas perempuan jatuhnya sering tidak enak. Dalam buku teks Bahasa Indonesia Sekolah Dasar misalnya, kita sering mendengar narasi yang berbunyi “Di pagi hari, Ayah minum kopi sambil baca koran. Sedangkan ibu pergi ke pasar”. Narasi ini tentu membentuk pandangan dalam masyarakat, bisa jadi sebelum berangkat ke pasar, ibu harus memasak, mencuci dan menyapu. Sedangkan bapak cuma minum kopi.

Sekedar untuk menambah pengetahuan. Jika kalian pengagum filsuf pertama seperti Aristoteles dan Plato, maka kalian harus tahu bahwa mereka mengatakan bahwa perempuan adalah setengah manusia. Artinya, perempuan tidak menjadi sosok manusia secara utuh dan penuh. Tidak berhak atas hak-hak yang semestinya harus mereka dapatkan.

Problematika Gender

Secara umum ada 5 permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam gender, Yaitu :

Marginalisasi, peminggiran perempuan dari dunia pendidikan, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Contohnya, perempuan yang kuliah S3 akan sulit mendapatkan jodoh.

Double Burden atau pemberian beban kerja yang lebih panjang dan berat.

Subordinasi, pandangan bahwa perempuan merupakan sosok yang tidak penting. Perempuan hadir hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki.

Stereotip atau pelabelan negatif. Misalnya, perempuan adalah sosok yang lemah, cerewet, manja dan tidak dapat hidup mandiri.

Violance, kekerasan yang berbentuk fisik maupun non fisik.

Lalu, dari mana sumber problematika gender berasal?

Sumber problematika gender berasal dari ideologi patriarkhi (peradaban laki-laki). Ideologi ini menempatkan laki-laki sebagai superordinat dan perempuan sebagai subordinat. Ideologi patriarkhi melahirkan stratifikasi gender, yaitu ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, dan prevelese antara laki-laki dan perempuan. Stratifikasi gender ini yang mendorong lahirnya gerakan sosial dikalangan kaum perempuan yang bertujuan untuk membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan. Gerakan inilah yang di sebut sebagai FEMINISME. Feminisme lahir pertama kali di Prancis pada abad ke-18 dan menyebar ke negara-negara di benua Eropa, Amerika dan Asia.

Gerakan feminisme mengalami 3 gelombang besar. First wave  tahun 1846-1915. Perempuan mendapatkan kesetaraan dihadapan hukum. Mereka memiliki hak pilih, kontrak kepemilikan dan legal recognition. Second wave tahun 1960-1990. Perempuan memperoleh kesetaraan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pekerjaan, upah, dan hak reproduksi. Third wave, tahun 1990–present. Masa ini disebut era postmodern. Tekanannya ada pada hal-hal kultural, keragaman dan lainnya. Nah, Betty Friedan memiliki peranan yang besar di masa ke dua dan ketiga. Bahkan diakhir hidupnya, Friedan sempat mengkritik feminis lesbian dan feminis radikal.

The Feminine Mystique

Buku Betty Friedan yang berjudul The Feminine Mystique menjelaskan tentang rahasia feminis perempuan yang tersembunyi. Di masa kehidupan Friedan, mayoritas masyarakat khususnya para perempuan memiliki persepsi bahwa nilai tertinggi yang dimiliki perempuan adalah komitmennya pada keperempuannya (yang orientasinya kedalam, seperti memasak, bersolek, mencuci, momong anak dan sebagainya). Perempuan dianggap hebat ‘cukup’ dengan berada di posisi ini. Bagi Friedan, pandangan ini memenjarakan perempuan, karena perempuan yang tidak bisa masak, mencuci, bersih-bersih dianggap memiliki nilai yang rendah.

Bahkan ada anggapan yang mengatakan bahwa “to be a woman is to act like so. To be otherwise is to be unfeminine, not-woman”. Perempuan dituntut melakukan hal-hal ‘keperempuanan’. Jika tidak melakukannya, maka perempuan akan menjadi laki-laki. Tidak perempuan lagi. Jika dia berkarya (bertanding) di lahan yang sama dengan laki-laki berarti dia ingin menjadi laki-laki sehingga tidak akan bahagia di tengah masyarakat, perempuan sejati hanya akan bahagia diranah domestik. Tentunya, ini menjadi narasi yang menakutkan bagi perempuan untuk mengembangkan kemampuannya di sektor lain. perempuan menjadi hanya terfokus untuk di berdiam diri di rumah, menjadi ibu rumah tangga dan mengurus suami serta anak-anaknya.

Apakah tidak boleh jika perempuan pandai masak, mengurus rumah, mencuci dan lain-lainnya? Boleh.

Lalu kenapa di permasalahkan oleh Betty Friedan?

The Problem That Has No-Name

Betty Friedan melakukan penelitian melalui narasi-narasi yang ada pada majalah, koran dan juga mewawancarai para perempuan. Penelitiannya menghasilkan ketidakpuasan yang di alami oleh para ibu rumah tangga dari kelas menengah atas yang tinggal di daerah pinggiran (Suburban) dan pandangannya terhadap peran perempuan sebagaimana yang digambarkan majalah-majalah perempuan saat itu. Menurut Friedan, perempuan saat itu kurang tegas dan lebih berorientasi domestik (berkiblat pada hal-hal yang bersifat keputrian dan kerumahtanggaan). Para perempuan cenderung memikirkan ‘Bagaimana suamiku? Bagaimana anakku? Bagaimana rumah tanggaku?’. Orientasinya kedalam, dia tidak berfikir pemenuhan dirinya sebagai manusia.

Hal-hal tersebut juga di dukung dengan media televisi, majalah dan surat kabar yang menggambarkan sosok perempuan idaman adalah yang pandai memasak, berdandan dan mengurus rumah. Para editor majalah perempuan saat itu (era 1960-an) tampak mengasumsikan bahwa perempuan tidak akan tertarik pada bidang politik maupun urusan dunia luar yang lain.

Ada satu paragraf yang diungkap Betty Friedan dalam buku The Feminine Mystique :

“The problem lay buried. Unspoken. For many years in the minds of American woman. It was a stronge stirring. A sense of dissatisfaction. A yearning that woman suffered in the middle of the 20th century in the united states. Each Suburban wife struggled with it alone. As she made the beds. Shopped for groceries ... She was afraid to ask even of her self the silent question. –“is this all?”

Untuk mempermudah pembaca, saya sertakan maksud dari paragraf diatas :

“Problem ini terkubur. Tidak terkatakan. Bertahun-tahun dipikiran perempuan Amerika. Ini adalah satu persoalan aneh yang campur aduk. Satu rasa tidak puas. Satu kerinduan. Satu keinginan. Satu lamunan bahwa mengapa perempuan tersiksa di abad 20 di Amerika. Setiap istri berjuang dengan problem ini sendirian. Saat dia menata ranjang. Belanja untuk kebutuhan rumah tangga. Dia takut untuk bertanya bahkan kepada dirinya sendiri. Satu pertanyaan diam-diam. –“Apa hanya ini?” (yang dapat saya lakukan dalam hidup)

Akibatnya, perempuan mengalami krisis identitas. Perempuan menjadi sulit memahami dirinya sendiri dan sulit menentukan pilihan untuk mengikuti kata hati atau pikiran yang tidak sejalan.

Krisis Identitas Perempuan

Perempuan menghadapi krisis akan peran apa yang sebenarnya harus mereka mainkan. Friedan mengingat keputusannya yang pernah menghentikan karir demi mengurus anak-anaknya. Ternyata, ia melihat kembali fenomena serupa pada perempuan muda yang masih bergelut dengan keputusan yang sama. Friedan juga mengaca kepada pengalaman pribadinya. Dahulu Friedan pernah memiliki kekasih yang memintanya berhenti kuliah dan memiliki suami yang memintanya berhenti bekerja. Karena hal tersebut, Friedan membedakan antara work dan job. Bagi Friedan, job adalah pekerjaan yang menghasilkan uang, sedangkan work adalah karya, dan manusia perlu untuk terus berkarya.

Banyak perempuan yang memilih putus sekolah untuk menikah. Mereka khawatir, apabila terlalu lama menunggu dan terdidik akan gagal membuat calon suami senang dan terkesan. Banyak perempuan yang tidak menemukan penemuan dalam ruang sempit mereka sebagai istri atau ibu. Dalam benaknya, perempuan dihantui rasa takut bersalah, khususnya pada pemikiran “jika saya berpendidikan, dapatkah saya membahagiakan keluarga?”

Betty Friedan menyimpulkan bahwa perempuan modern di tahun 1960-an secara umum mencita-citakan 3 hal; heart, home dan husband. Percintaan yang romantis, rumah yang nyaman dan suami yang mapan. Perempuan menghilangkan hasrat untuk hidup mandiri dan mencurahkan segala perhatian hanya untuk mengurus suami, anak, dan rumah. Apakah yang di lakukan perempuan di masa itu dianggap salah oleh Betty Friedan? TIDAK. Yang dilakukan perempuan bukanlah hal yang salah. Hanya saja mereka tidak memikirkan diri sendiri. Tentu Friedan tidak bermaksud menyalahkan suami maupun anak. Dia hanya ingin mengatakan kepada perempuan “Ayo, pikirkan dirimu juga!”

Friedan juga mengatakan bahwa para perempuan ini (diera 1960-an) hidupnya nyaman tapi tidak terdorong untuk berkembang, berpendidikan tetapi tidak intelektual (produktif), mereka hanya terobsesi untuk membuat anak, mengurus rumah dan dan hal yang tidak penting. It this all? Apa hanya itu yang dapat dilakukan perempuan?

Selain pandangan perempuan yang masih tertutup, the sex-directed education juga menjadi penghalang perjuangan feminisme karena mereka termasuk agen yang melanggengkan inferioritas perempuan. Mereka adalah orang-orang terdidik, terpelajar dan terpandang sehingga sulit untuk membantah argumennya. Mereka fokus mengajarkan kepada perempuan tentang “apa yang boleh dilakukan” dan “apa yang tidak boleh dilakukan”. Jika dianalisis, artinya mereka telah membuat aturan supaya perempuan berkedudukan inverior atau dibawah laki-laki. Bukannya mengajarkan supaya perempuan berpikir kritis terhadap prasangka popular yang keliru tentang perempuan.

Dalam struktur yang meminggirkan perempuan, akhirnya rumah menjadi comfortable concentration camp atau tempat ternyaman. Freidan menggambarkan bahwa perempuan dipenjara tetapi merasa nyaman karena mereka tidak sadar. Dengan berada di rumah, perempuan akan merasa bosan dan menghabiskan waktunya untuk mengerjakan hal-hal yang kurang berarti atau cenderung melelahkan. Parahnya, perempuan akan mengalami dehumanization and passive nonidentity seperti kepasifan ego yang lemah, anti sosial, tidak mampu berfikir abstrak, penolakan terhadap tujuan hidup, cita-cita dan ambisi. Hasilnya, diri perempuan yang dikorbankan (the forfeited self). Perempuan tidak punya kejelasan arah untuk masa depan, membunuh kemampuan dirinya dan mengorbankan sisi kemanusiaannya.

Apa yang harus dilakukan?

Betty Friedan menawarkan tugas utama yang harus dilakukan, yaitu REMEDY. Membentuk ulang secara drastis tentang femininitas yang bagus. Ada beberapa hal yang harus direalisasikan :

Upaya untuk membentuk kembali image-image tentang makna perempuan dan keperempuanan.

Pemberhentian pernikahan dini secara masif dan didukung oleh pihak keluarga (orang tua),    pendidik, pemerintah, editor majalah, dan lain sebagainya.

Perempuan hendaknya dihentikan dari keinginannya untuk sekedar menjadi ibu rumah tangga dengan jalan pemberian pendidikan yang tinggi atau setinggi-tingginya. Perempuan juga berhak bermimpi dan mewujudkan mimpinya.

Tujuan dari remidy adalah supaya perempuan menjadi manusia yang penuh, tidak hanya sebagai pelengkap laki-laki. Perempuan juga bebas menentukan “what one is going to be” yang secara tradisional menjadi ranah laki-laki. Perangkat kemanusiaan yang berupa akal, perasaan dan kekuatan dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Yang membedakan hanya perihal ‘seks’ seperti menstruasi, hamil dan melahirkan. Berbicara politik, ekonomi, sosial, budaya bukan berbicara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama berkedudukan sebagai manusia. Simply to become fully human.

Kutipan Nasehat dari Betty Freidan

Di bagian terakhir, saya ingin memberikan kutipan yang dapat menjadi nasehat bagi kita, khususnya para perempuan di era postmodern. Freidan mengatakan dalam bukunya :

“Tentu saja ada banyak perempuan yang bahagia menjadi ibu rumah tangga dan keahlian sepenuhnya adalah menjadi ibu rumah tangga. Namun, kebahagiaan itu tidak sama dengan ‘kepenuhan hidup’ karena manusia bukanlah makhluk statis”

Maksudnya, Freidan ingin menyampaikan bahwa sebagai perempuan janganlah merasa puas dengan kesibukan di ranah domestik. Begitupun sebagai laki-laki, tidak lantas merasa puas dengan kesibukan diluar rumah.

Freidan juga menasehatkan kalimat singkat yang sarat makna “Grow or Die”. Tumbuh atau mati. Jangan menjadi manusia statis yang mandek, tidak berkembang. Semakin hari, seharusnya semakin baik dan baik, semakin berkualitas dan berkualitas. Jika tidak, maka you are not human. Hakikatnya manusia itu berubah dan tumbuh.

Sebelum menjelang akhir diskusi, Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. juga memberikan nasehat kepada para peserta supaya -sebagai manusia- jangan merasa benar. Mengapa? Karena jika kita merasa benar maka kita akan mandek. Ilmunya tidak bertambah. Padahal ilmu yang diperoleh hari ini itu tidak final. Pasti kurang. Kenapa? Karena kita adalah manusia yang pengetahuannya tidak sempurna. Maka, sempurnakanlah terus menerus. Grow! Dengan menambah ilmu. Perempuan begitu, laki-laki juga begitu. Jangan hanya puas dengan kondisimu saat ini.

Catatan:

Tentu tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis juga baru mengenal tokoh feminis Betty Freidan. Apabila ada yang kurang mohon dimaafkan dan dikoreksi. Semoga bermanfaat!

Terimakasih.


al-Faqir al-Dhaif

Laila Fajrin Rauf


________________
Sumber belajar          : Ngaji Filsafat ke-149 di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.

Narasumber              : Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag