Wednesday, December 27, 2017

TAFSIR SURAT AL FATIHAH



TAFSIR SURAT AL FATIHAH
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Dosen Pengampu : Atiqotuz Zulfah, S.Pd.I.,M.S.I.
Disusun oleh :
Ihdiana Nurin S          1403096016
Laila Fajrin                  1403096019
Dewi Nuris Sa’adah    1403096021

PGMI 3A
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015





BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Seorang muslim akan selalu mengulang-ulang membaca surat pendek yang terdiri atas tujuh ayat ini, minimal ia membacanya sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam, entah berapa kali lipat lagi kalau dia melakukan shalat-shalat sunnah. Seorang muslim tidak akan sah shalatnya tanpa mmbaca surat ini.
Surat al Fatihah yang merupakan surat pertama dalam al-Qur’an termasuk golongan surat makkiyah, yakni surat yang diturunkan sebelum Rasulallah hijrah ke kota Madinah. Pokok-pokok besar al-Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar gembira bagi orang yang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang kafir, tentng ibadah dan pembalasan bagi orang kafir, semua itu tercermin dalam surat al Fatihah.
Melihat pentingnya memahami surat ini secara mendalam dan banyaknya orang-orang mukmin yang kurang mengetahui tentang penafsiran ayat-ayat surat al Fatihah ini maka penulis ingin mengupas sedikit tentang penafsiran ayat-ayat surat ini. Setidaknya agar dalam shalat kita dapat menghayati maksud dan maknanya serta mampu menguatkan iman kita kepada sang pencipta, Allah SWT.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Surat Al Fatikhah dan Terjemahannya
2.      Penjelasan Umum Surat Al Fatihah
3.      Tafsir Surat Al Fatihah
C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui lafadz dan makna surat Al Fatihah
2.      Mengetahui penjelasan umum tentang surat Al Fatihah
3.      Mengerti dan memahami penafsiran surat Al Fatihah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    SURAT AL FATIHAH DAN TERJEMAHANNYA
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)  [الفاتحة : 1 - 7] [1]
1.    Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
2.    Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3.    Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
4.    Yang menguasai hari pembalasan.
5.    Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
6.    Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.
7.    (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
B.     PENJELASAN UMUM SURAT AL FATIHAH
Al Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama diturunkan di Mekkah.[2] Ia merupakan surat pertama dalam daftar surat al-Qur’an. Meski demikian, surat Al Fatihah ini bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surat yang pertama kali diturunkan adalah surat Al Alaq.[3]
Surat ini dinamakan Al Fatihah karena secara tekstual ia merupakan surat yang membuka atau mengawali surat-surat yang ada di al-Qur’an dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surat lain dalam shalat.[4] Selain bernama Al Fatihah surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan sebutan Ummul Kitab, sedangkan menurut as-Suyuthi surat ini memiliki nama lain, diantaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup)[5], asy-Syafiyah (yang menyembuhkan)[6] dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).[7]

C.    TAFSIR SURAT AL FATIKHAH
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [الفاتحة :[1]
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Allah memulai kitab-Nya dengan Basmalah dan memerintahkan nabi-Nya untuk memulai segala aktivitas dengan asma Allah, Iqra’ Bismi Rabbika, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa Basmalah merupakan pesan pertama Allah kepada manusia, pesan agar manusia memulai setiap aktivitasnya dengan asma Allah.[8]
Kalimat Basmalah tersebut bermakna, “Aku memulai bacaanku ini seraya memohon berkah dengan menyebut seluruh nama Allah”, Idiom nama Allah berarti mencakup semua nama di dalam Asmaul Husna. Seorang hamba harus memohon pertolongan kepada Tuhannya. Dalam permohonannya itu, ia bisa menggunakan salah satu nama Allah yang seusai dengan apa yang diinginkan. Permohonan pertolongan yang paling agung adalah dalam rangka ibadah kepada Allah dan yang paling utama adalah dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna kalam-Nya, dan meminta petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.[9]
Allah adalah Dzat yang harus disembah, hanya Allah yang berhak atas cinta, rasa takut, pengharapan dan segala bentuk penyembahan. Hal itu karena Allah memiliki semua sifat kesempurnaan, sehingga membuat seluruh makhluk semestinya hanya beribadah dan menyembah kepada-Nya.[10]
Makna ba’ yang dibaca bi pada Basmalah, ba’ atau yang dibaca bi  dalam basmalah diterjemahkan dengan “memulai”, sehingga Bismillah berarti “saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini dengan nama Allah.” Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam do’a atau pernyataan dari pengucap, bahwa ia memulai pekerjaannya dengan nama Allah. Apabila seseorang memulai suatu pekerjaan dengan nama Allah atau atas namaNya, maka pekerjaan tersebut akan menjadi baik, atau paling tidak pengucapnya akan terhindar dari godaan nafsu, dorongan ambisi atau kepentingan pribadi, sehingga apa yang dilakukannya tidak mengakibatkan kerugian bagi orang lain, melainkan membawa manfaat bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan serta kemanusiaan seluruhnya.[11]
Ada juga yang mengaitkan kata bi dengan memunculkan dalam benaknya “kekuasaan”, pengucap Basmalah seakan-akan berkata: “Dengan kekuasaan Allah dan pertolonganNya, pekerjaan yang sedang saya lakukan ini dapat terlaksana”. Pengucap ketika itu (seharusnya) sadar bahwa tanpa kekuasaan Allah dan pertolonganNya apa yang sedang dikerjakan tidak akan berhasil. Dengan demikian, ia menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya, tetapi dalam saat yang sama pula ia memiliki rasa percaya diri setelah menghayati kata Bismillah ini, karena pada saat itu ia telah menyandarkan dirinya kepada Allah dan memohon bantuan Yang Maha Kuasa.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) [الفاتحة : 2]                        
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 Ayat ini merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan dan karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin, serta baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Didalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah kepada para hamba untuk memuji-Nya, karena hanya Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk di alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia berikan kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan berupa iman dan amal sholeh.[12]
Kata rabb رَبِّ secara etimologi berarti pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kata Tuhan.[13]

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) [الفاتحة : 3]                    
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kedua kata tersebut adalah kata sifat yang berakar pada satu kata, yaitu ar-rahmat. Secara bahasa, kata rahmat berarti kasih di dalam hati yang mendorong timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini kurang tepat untuk menggambarkan sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas lebih sepakat untuk menyatakan bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada dalam Dzat Allah. Kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita hanya menyadari efek dari sifat kasih sayang-Nya, yaitu berupa kebaikan.[14]
Banyak para ulama yang membedakan antara makna ar-Rahman dan ar-Rakhim. Sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan sifat ar-Rakhim adalah sifat kasih sayang-Nya yang memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan bersifat umum. Sedangkan sifat ar-Rakhim merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan bersifat khusus.[15]
Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rakhim adalah sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah kepada para hamba-Nya yang diberi kenikmatan.[16]

ملِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) [الفاتحة : 4]                     
Yang menguasai hari pembalasan.

Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i dan Ya’qub membacanya dengan  huruf mim dibaca panjang (mad). Sedangkan para qari’ yang lain membacanya dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik  bermakna Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.  Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT.[17]
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi ayat tersebut berarti “yang memutuskan di hari perhitungan”.  Menurut Qatadah, kata ad-din (الدين) berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali agama”. Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan, dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan.[18] Saat itu, hanya ketaatan hamba kepada Allah yang menyelamatkannya dari siksaan neraka.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) [الفاتحة : 5]                                 
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.

Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ)Allah membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-Nya.[19]
Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar (asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki. Apalagi didalam shalat, terutama shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan kepada semua orang.[20]
Ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu, setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.[21]

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) [الفاتحة : 6]                      
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.

Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا) berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah serta tiada sekutu bagi-Nya.”[22]
Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari’, membacanya dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam mushaf Utsmani. Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط).  Ketiga, dibaca dengan huruf za’ (ز), sehingga menjadi (الزِراَط). Sedangkan menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak bengkok.[23]
Kataاهْدِنَا  berasal dari akar kata hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk -baik yang berupa perkataan maupun perbuatan- kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan. Hidayah pertama diberikan Allah kepada manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra dan kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh petunjuk untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Hidayah kedua adalah melalui diutusnya para Nabi. Macam hidayah ini terkadang disandarkan kepada Allah, para rasul-Nya, atau al-Qur’an. Hidayah tingkatan ketiga adalah hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya karena perbuatan baik mereka. Hidayah keempat adalah hidayah yang telah ditetapkan oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian hidayah keempat inilah, maka Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman, Abu Thalib, untuk masuk Islam.[24]

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة : 7]                       
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[25]
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang yang dimurkai adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.[26]




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Surat al Fatihah adalah surat pertama dalam al-Qur’an, termasuk golongan surat makiyah atau surat yang diturunkan dikota Makkah, terdiri dari tujuh ayat. Surat al Fatihah ini berisi pokok-pokok isi al-Qur’an al-Karim seluruhnya. Pokok-pokok al-Qur’an yang terkandung dalam surat al Fatihah ini diperjelas lagi pada 113 surat berikutnya.
Dari penafsiran yang telah disebutkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pekerjaan yang baik perlu dimulai dengan Basmalah yang menunjukkan adanya akidah dan keimanan.
2.      Kita perlu memuji Allah dan melaksanakan ibadah serta memohon pertolongan hanya kepadaNya yang memelihara dan mengatur seluruh alam.
3.      Baik dalam ibadah maupun amal perbuatan yang lain kita selalu mohon hidayah dan petunjuk sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.
4.      Kita memohon hidayah dan petunjuk kepada Allah karena Allah adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang dan menguasai hari akhir sesuai dengan adanya janji dan ancaman.
5.      Hidayah dan petunjuk yang kita mohonkan kepada Allah ialah hidayah sebagaimana hidayah yang Allah berikan kepada orang-orang yang diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat sebagaimana yang disebutkan dalam kisah-kisah al-Qur’an.

B.     KRITIK/SARAN
Dalam mempelajari tafsir surat al Fatihah ini, diharapkan para pembaca makalah menelaah diri pribadi, apakah sikap yang dilakukan sekarang ini sudah sesuai dengan penafsiran yang telah dijabarkan atau malah sebaliknya. Selanjutnya, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan pembaca pada umumnya.  Terimakasih dan semoga sukses.


[1] Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: P.T Sabiq Depok, 2009), hlm. 1.
[2] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1, hlm. 17.
[3] Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hlm. 206.
[4] Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz 1, hlm. 101.
[5] Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hlm. 190.
[6] Ibnu Jazi, at-Tashil fi Ulum at-Tanzil, juz 1, hlm. 61.
[7] Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 2, hlm. 315.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2007), hlm. 3.
[9] Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H), hlm. 10.  
[10] Ibid.,  
[11] Op. cit, hlm. 12.
[12] Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.alat-Tafsir al-Muyassar, hlm. 8.
[13] Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 1, (Jakarta: Departemen Agama RI), jil. I, hlm. 10.
[14] Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1, hlm. 1.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hlm. 53.
[18] Ibid.
[19] Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz 1, hlm. 3.
[20] Ibid.
[21] Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1, hlm. 6.
[22] Ibnu Abi Hatim ar-Razi, Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 1, hlm. 8-9.
[23] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 2000), juz 1, hlm. 170.
[24] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, kitab digital dalam Program al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.13.
[25] Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 1, hlm. 43.
[26] Ibid, hlm. 44.


No comments:

Post a Comment