TAFSIR SURAT AL FATIHAH
Makalah
ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Dosen
Pengampu : Atiqotuz Zulfah, S.Pd.I.,M.S.I.
Disusun
oleh :
Ihdiana
Nurin S 1403096016
Laila
Fajrin 1403096019
Dewi
Nuris Sa’adah 1403096021
PGMI 3A
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seorang muslim akan selalu
mengulang-ulang membaca surat pendek yang terdiri atas tujuh ayat ini, minimal
ia membacanya sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam, entah berapa kali
lipat lagi kalau dia melakukan shalat-shalat sunnah. Seorang muslim tidak akan
sah shalatnya tanpa mmbaca surat ini.
Surat al Fatihah yang merupakan surat
pertama dalam al-Qur’an termasuk golongan surat makkiyah, yakni surat yang
diturunkan sebelum Rasulallah hijrah ke kota Madinah. Pokok-pokok besar
al-Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar gembira bagi orang
yang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang kafir, tentng ibadah dan
pembalasan bagi orang kafir, semua itu tercermin dalam surat al Fatihah.
Melihat pentingnya memahami surat ini
secara mendalam dan banyaknya orang-orang mukmin yang kurang mengetahui tentang
penafsiran ayat-ayat surat al Fatihah ini maka penulis ingin mengupas sedikit
tentang penafsiran ayat-ayat surat ini. Setidaknya agar dalam shalat kita dapat
menghayati maksud dan maknanya serta mampu menguatkan iman kita kepada sang
pencipta, Allah SWT.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Surat Al
Fatikhah dan Terjemahannya
2.
Penjelasan Umum
Surat Al Fatihah
3.
Tafsir Surat Al
Fatihah
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui
lafadz dan makna surat Al Fatihah
2.
Mengetahui
penjelasan umum tentang surat Al Fatihah
3.
Mengerti dan memahami
penafsiran surat Al Fatihah
BAB II
PEMBAHASAN
A. SURAT AL FATIHAH
DAN TERJEMAHANNYA
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ (3) مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(7) [الفاتحة : 1 - 7] [1]
1.
Dengan menyebut
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
2.
Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam.
3.
Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.
4.
Yang menguasai
hari pembalasan.
5.
Hanya kepada
Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
6.
Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus.
7.
(yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
B. PENJELASAN UMUM
SURAT AL FATIHAH
Al Fatihah terdiri dari tujuh ayat
dan menurut mayoritas ulama diturunkan di Mekkah.[2] Ia
merupakan surat pertama dalam daftar surat al-Qur’an. Meski demikian, surat Al
Fatihah ini bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surat yang
pertama kali diturunkan adalah surat Al Alaq.[3]
Surat ini dinamakan Al Fatihah
karena secara tekstual ia merupakan surat yang membuka atau mengawali
surat-surat yang ada di al-Qur’an dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya
surat lain dalam shalat.[4]
Selain bernama Al Fatihah surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan
sebutan Ummul Kitab, sedangkan
menurut as-Suyuthi surat ini memiliki nama lain, diantaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup)[5], asy-Syafiyah (yang menyembuhkan)[6]
dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat
yang diulang-ulang).[7]
C. TAFSIR SURAT AL
FATIKHAH
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [الفاتحة :[1]
Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Allah memulai kitab-Nya dengan
Basmalah dan memerintahkan nabi-Nya untuk memulai segala aktivitas dengan asma
Allah, Iqra’ Bismi Rabbika, maka
tidak keliru jika dikatakan bahwa Basmalah merupakan pesan pertama Allah kepada
manusia, pesan agar manusia memulai setiap aktivitasnya dengan asma Allah.[8]
Kalimat Basmalah tersebut bermakna,
“Aku memulai bacaanku ini seraya memohon berkah dengan menyebut seluruh nama
Allah”, Idiom nama Allah berarti mencakup semua nama di dalam Asmaul Husna. Seorang
hamba harus memohon pertolongan kepada Tuhannya. Dalam permohonannya itu, ia
bisa menggunakan salah satu nama Allah yang seusai dengan apa yang diinginkan.
Permohonan pertolongan yang paling agung adalah dalam rangka ibadah kepada
Allah dan yang paling utama adalah dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami
makna kalam-Nya, dan meminta petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.[9]
Allah adalah Dzat yang harus
disembah, hanya Allah yang berhak atas cinta, rasa takut, pengharapan dan
segala bentuk penyembahan. Hal itu karena Allah memiliki semua sifat
kesempurnaan, sehingga membuat seluruh makhluk semestinya hanya beribadah dan
menyembah kepada-Nya.[10]
Makna ba’ yang dibaca bi pada Basmalah, ba’ atau yang dibaca bi dalam basmalah
diterjemahkan dengan “memulai”,
sehingga Bismillah berarti “saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini
dengan nama Allah.” Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam do’a atau
pernyataan dari pengucap, bahwa ia memulai pekerjaannya dengan nama Allah.
Apabila seseorang memulai suatu pekerjaan dengan nama Allah atau atas namaNya,
maka pekerjaan tersebut akan menjadi baik, atau paling tidak pengucapnya akan
terhindar dari godaan nafsu, dorongan ambisi atau kepentingan pribadi, sehingga
apa yang dilakukannya tidak mengakibatkan kerugian bagi orang lain, melainkan
membawa manfaat bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan serta kemanusiaan
seluruhnya.[11]
Ada juga yang mengaitkan kata bi dengan memunculkan dalam benaknya
“kekuasaan”, pengucap Basmalah seakan-akan berkata: “Dengan kekuasaan Allah dan
pertolonganNya, pekerjaan yang sedang saya lakukan ini dapat terlaksana”.
Pengucap ketika itu (seharusnya) sadar bahwa tanpa kekuasaan Allah dan
pertolonganNya apa yang sedang dikerjakan tidak akan berhasil. Dengan demikian,
ia menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya, tetapi dalam saat yang sama
pula ia memiliki rasa percaya diri setelah menghayati kata Bismillah ini,
karena pada saat itu ia telah menyandarkan dirinya kepada Allah dan memohon
bantuan Yang Maha Kuasa.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) [الفاتحة :
2]
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Ayat ini merupakan pujian kepada
Allah karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan dan karena telah memberikan
berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin, serta baik bersifat keagamaan
maupun keduniawian. Didalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah kepada
para hamba untuk memuji-Nya, karena hanya Dialah satu-satunya yang berhak atas
pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk di alam semesta. Dialah yang
mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang memelihara semua makhluk dengan
berbagai kenikmatan yang Dia berikan kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia
berikan kenikmatan berupa iman dan amal sholeh.[12]
Kata rabb رَبِّ secara etimologi
berarti pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu
nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik,
pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kata Tuhan.[13]
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) [الفاتحة : 3]
Yang
Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang.
Kedua kata tersebut adalah kata
sifat yang berakar pada satu kata, yaitu ar-rahmat. Secara bahasa,
kata rahmat berarti kasih di dalam hati yang mendorong
timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini kurang tepat untuk menggambarkan
sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas lebih sepakat untuk menyatakan
bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada dalam Dzat Allah. Kita tidak
mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita hanya menyadari efek dari sifat kasih
sayang-Nya, yaitu berupa kebaikan.[14]
Banyak para ulama yang membedakan
antara makna ar-Rahman dan ar-Rakhim. Sifat ar-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya.
Sedangkan sifat ar-Rakhim adalah sifat kasih sayang-Nya yang
memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian
ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah
yang memberikan kenikmatan bersifat umum. Sedangkan sifat ar-Rakhim merupakan
sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan bersifat khusus.[15]
Menurut Syekh Thanthawi Jauhari,
kata ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang
berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan
kata ar-Rakhim adalah sifat kasih sayang Allah yang berkaitan
dengan perbuatan, yaitu bagaimana sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah
kepada para hamba-Nya yang diberi kenikmatan.[16]
ملِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) [الفاتحة : 4]
Yang
menguasai hari pembalasan.
Dalam ayat ini, terdapat dua macam
qiraat. Ashim, al-Kisa’i dan Ya’qub membacanya dengan huruf mim
dibaca panjang (mad). Sedangkan para qari’ yang lain
membacanya dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski
bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian
ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik bermakna
Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi
ada. Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT.[17]
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan
as-Sadi ayat tersebut berarti “yang memutuskan di hari perhitungan”. Menurut
Qatadah, kata ad-din (الدين)
berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan
keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut
bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali agama”.
Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan, dengan demikian, yaum
ad-din berarti hari ketaatan.[18] Saat
itu, hanya ketaatan hamba kepada Allah yang menyelamatkannya dari siksaan
neraka.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)
[الفاتحة : 5]
Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan.
Dengan kalimat hanya
kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah membatasi penyembahan
atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus
memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah
tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk
ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan
larangan-Nya.[19]
Shalat merupakan bentuk ibadah yang
paling dasar (asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang
paling tinggi kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan
wajahnya yang notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat
bersujud, orang menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan
tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki. Apalagi didalam shalat, terutama
shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan kepada
semua orang.[20]
Ditempatkannya kalimat “permintaan
tolong” (نَسْتَعِينُ)
setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran Allah
kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk beribadah
kepada-Nya terlebih dahulu, setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita
pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah
selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa
yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu
terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.[21]
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) [الفاتحة : 6]
Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus.
Menurut Ibnu Abbas, kata
“tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا)
berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain
“jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang
menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut
Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah
kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah serta
tiada sekutu bagi-Nya.”[22]
Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam
cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari’,
membacanya dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam
mushaf Utsmani. Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin,
sehingga menjadi (السِرَاط). Ketiga, dibaca
dengan huruf za’ (ز),
sehingga menjadi (الزِراَط). Sedangkan menurut
bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak
bengkok.[23]
Kataاهْدِنَا berasal dari akar kata hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi, hidayah berarti
petunjuk -baik yang berupa perkataan maupun perbuatan- kepada kebaikan. Hidayah
tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan. Hidayah pertama diberikan Allah
kepada manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra
dan kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh petunjuk
untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Hidayah kedua adalah melalui diutusnya para Nabi. Macam hidayah
ini terkadang disandarkan kepada Allah, para rasul-Nya, atau al-Qur’an. Hidayah
tingkatan ketiga adalah
hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya karena perbuatan baik
mereka. Hidayah keempat adalah
hidayah yang telah ditetapkan oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian
hidayah keempat inilah, maka Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman,
Abu Thalib, untuk masuk Islam.[24]
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة : 7]
(yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Ayat ini merupakan penjelasan dan
tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang
lurus” (الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan
yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” adalah jalan orang-orang yang
telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka
dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah
para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin
Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud
dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi
Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin
Khattab.[25]
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan
jalan mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh
orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena
melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang
sesat (الضالين) pada lanjutan ayat
tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang yang dimurkai
adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak
para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.[26]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Surat al Fatihah adalah surat pertama
dalam al-Qur’an, termasuk golongan surat makiyah atau surat yang diturunkan
dikota Makkah, terdiri dari tujuh ayat. Surat al Fatihah ini berisi pokok-pokok
isi al-Qur’an al-Karim seluruhnya. Pokok-pokok al-Qur’an yang terkandung dalam
surat al Fatihah ini diperjelas lagi pada 113 surat berikutnya.
Dari
penafsiran yang telah disebutkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Pekerjaan yang baik
perlu dimulai dengan Basmalah yang menunjukkan adanya akidah dan keimanan.
2.
Kita perlu
memuji Allah dan melaksanakan ibadah serta memohon pertolongan hanya kepadaNya
yang memelihara dan mengatur seluruh alam.
3.
Baik dalam
ibadah maupun amal perbuatan yang lain kita selalu mohon hidayah dan petunjuk
sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.
4.
Kita memohon
hidayah dan petunjuk kepada Allah karena Allah adalah Maha Pengasih, Maha
Penyayang dan menguasai hari akhir sesuai dengan adanya janji dan ancaman.
5.
Hidayah dan
petunjuk yang kita mohonkan kepada Allah ialah hidayah sebagaimana hidayah yang
Allah berikan kepada orang-orang yang diberi nikmat, bukan jalan orang-orang
yang dimurkai dan sesat sebagaimana yang disebutkan dalam kisah-kisah
al-Qur’an.
B. KRITIK/SARAN
Dalam mempelajari
tafsir surat al Fatihah ini, diharapkan para pembaca makalah menelaah diri
pribadi, apakah sikap yang dilakukan sekarang ini sudah sesuai dengan
penafsiran yang telah dijabarkan atau malah sebaliknya. Selanjutnya, kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pemakalah
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Terimakasih dan semoga sukses.
[1] Departemen Agama RI, Al
Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: P.T
Sabiq Depok, 2009), hlm. 1.
[2] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1, hlm. 17.
[3] Muhammad bin
Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hlm.
206.
[4] Ismail bin Umar bin Katsir
al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), juz 1, hlm. 101.
[5] Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li
al-Kitab, 1974), juz 1, hlm. 190.
[6] Ibnu Jazi, at-Tashil fi
Ulum at-Tanzil, juz 1, hlm. 61.
[7] Muhammad
al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 2, hlm. 315.
[8] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2007), hlm. 3.
[9] Abdurrahman bin Nashir bin
as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir al-Qur’an,
(Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa
al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H), hlm. 10.
[10] Ibid.,
[11] Op. cit, hlm. 12.
[12] Abdullah bin
Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir al-Muyassar, hlm.
8.
[13] Kementrian Agama RI, al-Qur’an
dan Tafsirnya, jilid 1, (Jakarta: Departemen Agama RI), jil. I, hlm. 10.
[14] Muhammad Sayyid
Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1, hlm. 1.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Abu Muhammad al-Husain bin
Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar
ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hlm. 53.
[18] Ibid.
[19] Muhammad Mutawalli
as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz 1, hlm. 3.
[20] Ibid.
[21] Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir
al-Wasith, juz 1, hlm. 6.
[22] Ibnu Abi Hatim
ar-Razi, Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 1, hlm. 8-9.
[23] Muhammad bin Jarir bin Yazid
bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan
fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 2000), juz 1, hlm. 170.
[24] Muhammad
Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, kitab digital dalam
Program al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.13.
[25] Abu al-Laits
Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 1, hlm. 43.
No comments:
Post a Comment