Semarang, lpmedukasi.com – UIN Walisongo Semarang mempunyai
asrama putri yang bernama Ma’had Al Jami’ah Walisongo. Ma’had tersebut terletak di area
kampus II UIN Walisongo. Menurut KH. Dr. Fadlolan Musyafa’ Mu’thi, Lc, MA.
selaku pengasuh menuturkan, Ma’had al Jamiah ini harapannya dapat menjadi maskot
percepatan atmosfer akademik bagi sivitas
akademika UIN Walisongo.
Di Ma’had inilah, universitas melakukan langkah
konkrit untuk membentuk mahasiswa yang berkarakter Islam lokal dan berwawasan
internasional. “Ma’had ini merupakan maskot percepatan atmosfer akademik,
disini kalian akan dibekali dan
dijadikan bahan percontohan bagi mahasiswa lain diluaran sana,” ujarnya saat mengaji bersama para
santri.
UIN Walisongo adalah
lembaga yang mengkaji ilmu agama secara scientifik. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mewujudkan mahasiswa yang mampu berfikir secara ilmiah dalam mempelajari ilmu
agama dari berbagai aspek, salah satu upaya yang dilakukan adalah
membekali mahasiswanya dengan kemampuan dua bahasa sekaligus, yakni bahasa
arab dan inggris. Ma’had telah menggunakan metode bilingual, mahasantri wajib menggunakan
bahasa arab dan inggris dalam kesehariannya. Selain itu, pada malam Selasa dan Rabu, terdapat kuliah bahasa
untuk menunjang pengetahuan bahasa para santri.
Menjelang pagi
setelah salat subuh, mereka
mengadakan khitobah dua bahasa bersama di Masjid al Fitroh, kemudian belajar bersama di halaman Ma’had, para santri menyebutnya dengan Muhaddatsah
jika minggu arab dan Conversation jika minggu inggris.
“Setelah kami
melaksanakan salat subuh bersama,
ada kegiatan khitobah dua bahasa, bahasa yang digunakan tergantung pada minggu
arab atau minggu inggris, setelah itu kami muhadatsah jika minggu arab
dan conversation jika minggu inggris, barulah setelah kegiatan selesai
kami bebas pergi kuliah,” kata Fina yang merupakan mahasantri Ma’had al Jami’ah.
Aktivitas mahasiswa yang bertempat di ma’had memang
berbeda jika dibandingkan dengan mahasiswa lainnya, selain dituntut berbahasa
arab inggris mahasantri juga mengkaji kitab kuning setelah menunaikan salat
isya’ seperti Al Yaqutun Nafis, Ta’limul
muta’alim, Mau’idhotul Mukminin dan Tafsir
Jalalain. Sedangkan, setelah salat magrib ada tadarus al Qur’an hingga menjelang isya’ dan
dilanjutkan kegiatan yang telah dijadwalkan.
“Kadang saya merasa
lelah, tapi saya yakin ilmu yang saya dapatkan suatu saat akan bermanfaat.
Walaupun di ma’had sini setiap
hari harus berbaur dengan peraturan yang ketat dan jika melanggar mendapat takziran tapi bagi saya
hal itu mampu membentuk karakter seseorang menjadi lebih baik,” ujar Syarifah mahasiswa jurusan Pendidikan
Matematika semester 2.
Selain itu, mahasantri juga diajarkan
bagaimana cara berdialektika, berfikir kritis dan inovatif. Ma’had memberikan
wadah kepada mahasantri di setiap
malam minggu untuk melaksanakan diskusi bersama mengenai isu-isu yang ada, atau
menyangkut hukum-hukum dalam Islam yang masih menuai pro dan kontra. Ada juga
kegiatan yang menunjang potensi santri seperti rebana dan bulletin ma’had. (Edu-On/Fajrin)
Di Ma’had inilah, universitas melakukan langkah
konkrit untuk membentuk mahasiswa yang berkarakter Islam lokal dan berwawasan
internasional. “Ma’had ini merupakan maskot percepatan atmosfer akademik,
disini kalian akan dibekali dan
dijadikan bahan percontohan bagi mahasiswa lain diluaran sana,” ujarnya saat mengaji bersama para
santri.
Menjelang pagi
setelah salat subuh, mereka
mengadakan khitobah dua bahasa bersama di Masjid al Fitroh, kemudian belajar bersama di halaman Ma’had, para santri menyebutnya dengan Muhaddatsah
jika minggu arab dan Conversation jika minggu inggris.
Aktivitas mahasiswa yang bertempat di ma’had memang
berbeda jika dibandingkan dengan mahasiswa lainnya, selain dituntut berbahasa
arab inggris mahasantri juga mengkaji kitab kuning setelah menunaikan salat
isya’ seperti Al Yaqutun Nafis, Ta’limul
muta’alim, Mau’idhotul Mukminin dan Tafsir
Jalalain. Sedangkan, setelah salat magrib ada tadarus al Qur’an hingga menjelang isya’ dan
dilanjutkan kegiatan yang telah dijadwalkan.