Thursday, April 23, 2015

Ma’had al Jami’ah sebagai Maskot Atmosfer Akademik UIN Walisongo


Semarang, lpmedukasi.comUIN Walisongo Semarang mempunyai asrama putri yang bernama Ma’had Al Jami’ah Walisongo. Ma’had tersebut terletak di area kampus II UIN Walisongo. Menurut KH. Dr. Fadlolan Musyafa’ Mu’thi, Lc, MA. selaku pengasuh menuturkan, Ma’had al Jamiah ini harapannya dapat menjadi maskot percepatan atmosfer akademik bagi sivitas akademika UIN Walisongo.

Di Ma’had inilah, universitas melakukan langkah konkrit untuk membentuk mahasiswa yang berkarakter Islam lokal dan berwawasan internasional. “Ma’had ini merupakan maskot percepatan atmosfer akademik, disini kalian akan dibekali dan  dijadikan bahan percontohan bagi mahasiswa lain diluaran sana,” ujarnya saat mengaji bersama para santri.
UIN Walisongo adalah lembaga yang mengkaji ilmu agama secara scientifik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan mahasiswa yang mampu berfikir secara ilmiah dalam mempelajari ilmu agama dari berbagai aspek, salah satu upaya yang dilakukan adalah membekali mahasiswanya dengan kemampuan dua bahasa sekaligus, yakni bahasa arab dan inggris. Ma’had telah menggunakan metode bilingual, mahasantri wajib menggunakan bahasa arab dan inggris dalam kesehariannya. Selain itu, pada malam Selasa dan Rabu, terdapat kuliah bahasa untuk menunjang pengetahuan bahasa para santri.
Menjelang pagi setelah salat subuh, mereka mengadakan khitobah dua bahasa bersama di Masjid al Fitroh, kemudian belajar bersama di halaman Ma’had, para santri menyebutnya dengan Muhaddatsah jika minggu arab dan Conversation jika minggu inggris.
“Setelah kami melaksanakan salat subuh bersama, ada kegiatan khitobah dua bahasa, bahasa yang digunakan tergantung pada minggu arab atau minggu inggris, setelah itu kami muhadatsah jika minggu arab dan conversation jika minggu inggris, barulah setelah kegiatan selesai kami bebas pergi kuliah,” kata Fina yang merupakan mahasantri Ma’had al Jami’ah.
Aktivitas mahasiswa yang bertempat di ma’had memang berbeda jika dibandingkan dengan mahasiswa lainnya, selain dituntut berbahasa arab inggris mahasantri juga mengkaji kitab kuning setelah menunaikan salat isya’ seperti Al Yaqutun Nafis, Ta’limul muta’alim, Mau’idhotul Mukminin dan Tafsir Jalalain. Sedangkan, setelah salat magrib ada tadarus al Qur’an hingga menjelang isya’ dan dilanjutkan kegiatan yang telah dijadwalkan.
“Kadang saya merasa lelah, tapi saya yakin ilmu yang saya dapatkan suatu saat akan bermanfaat. Walaupun di ma’had sini setiap hari harus berbaur dengan peraturan yang ketat dan jika melanggar mendapat takziran tapi bagi saya hal itu mampu membentuk karakter seseorang menjadi lebih baik,ujar Syarifah mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika semester 2.
Selain itu, mahasantri juga diajarkan bagaimana cara berdialektika, berfikir kritis dan inovatif. Ma’had memberikan wadah kepada mahasantri di setiap malam minggu untuk melaksanakan diskusi bersama mengenai isu-isu yang ada, atau menyangkut hukum-hukum dalam Islam yang masih menuai pro dan kontra. Ada juga kegiatan yang menunjang potensi santri seperti rebana dan bulletin ma’had. (Edu-On/Fajrin)



Mahasiswa UIN Walisongo Semarang Krisis Budaya Diskusi

Semarang, LPM Edukasi – Sejatinya diskusi itu dapat menambahkan khazanah intelektual, namun sangat di sayangkan, budaya ini mulai di tinggalkan oleh mahasiswa. Untuk itu, perlu adanya agen yang mendorong minat mahasiswa dalam berdiskusi.

Minggu, (22/3) Lembaga-lembaga di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang, kerap mengadakan kegiatan diskusi yang bertujuan menambah wawasan intelektual mahasiswa FITK. Namun sekarang ini mahasiswa cenderung apatis, sehingga terjadi kemerosotan minat mahasiswa dalam mengikuti diskusi. Begitulah keluhan yang di sampaikan oleh Sajidin salah satu koordinator diskusi.

Menurutnya, kemerosotan diskusi di FITK disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya yaitu tugas kuliah yang menumpuk, sehingga diskusi di anggap mengganggu  jadwal kuliah dan nantinya dapat berdampak pada nilai kuliah. Selain itu, ketidak aktifan mereka dalam berorganisasi juga mempengaruhi minat diskusi, karena sedikitnya informasi yang mereka dapatkan tentang jadwal diskusi. “Saya kira kemerosotan minat diskusi di kalangan mahasiswa disebabkan karena kesibukan mereka dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah, mereka lebih mementingkan nilai Indeks Prestasi (IP) dari pada mencari wawasan lebih melalui diskusi,” ujar mahasiswa semester dua.

Lain halnya dengan pendapat Erra Lutfia, ia menuturkan bahwa lunturnya budaya diskusi disebabkan karena tidak ada teman dan fasilitas pribadi, seperti tidak adanya kendaraan, sehingga tidak dapat menghadiri kegiatan diskusi. Ia juga menyatakan bahwa kadang terbersit rasa malas dan minder terhadap seniornya ketika mengikuti diskusi. “Kita harus merangkul mereka dalam sebuah organisasi, karena di dalam organisasi mereka merupakan satu keluarga yang harmonis. Jadi, kita harus menjaga keharmonisan tersebut, menumbuhkan semangat baru. Dalam diskusi kita harus menjaga silaturrahmi dengan baik, mengajak mengobrol-ngobrol dan mengajak maen agar semakin akrab antara satu dengan yang lain,” imbuh mahasiswa jurursan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI).

Melihat keadaan yang demikian, Sajidin memberikan solusi supaya diskusi dilakukan antara jam-jam kuliah yang kosong, maka mahasiswa yang mempunyai waktu luang dapat mengikuti diskusi. Selain itu, dia menambahkan agar setelah selesai melakukan diskusi mahasiswa meriview dan mengaplikasikannya didalam perkuliahan. Sehingga ilmu yang di dapat dalam diskusi bermanfaat dan membawa dampak positif bagi para aktifis diskusi.