“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”
Oleh : Laila Fajrin
Mayoritas
bangsa Indonesia telah mengetahui bahwa
setiap tanggal 10 November selalu di peringati sebagai hari pahlawan. Akan
tetapi, tidak banyak yang memahami latar belakang mengapa tanggal 10 November
ditetapkan sebagai hari pahlawan. Peringatan hari pahlawan dimaksudkan untuk
mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran
bahkan nyawanya untuk memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia dari tangan
para penjajah.
Dahulu setelah Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945 kondisi Indonesia masih semrawut dan belum
stabil. Ancaman peperangan dan pemberontakan sangat masif di lakukan oleh
tentara sekutu. Pertempuran Surabaya menjadi salah satu saksi kerusuhan hebat
pasca kemerdekaan yang menewaskan ribuan orang Indonesia saat melawan pasukan Netherlands-Indies
Civil Administration (NICA) dan tentara
Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies).
Pertempuran Surabaya berawal dari maklumat yang dikeluarkan oleh Presiden
pertama Indonesia bapak Ir. Soekarno untuk mengibarkan bendera merah putih di
seluruh wilayah termasuk Surabaya pada tanggal 1 September 1945. Bersamaan dengan
hal itu, NICA dan AFNEI datang untuk melucuti dan memulangkan tentara Jepang ke
negaranya serta bermaksud mengembalikan Indonesia menjadi negara jajahan Belanda.
Bendera Belanda juga dikibarkan di puncak hotel Yamato. Sikap ini memantik
kemarahan warga Surabaya yang menganggap bahwa NICA dan AFNEI telah menginjak-nginjak
sang saka merah putih dan harga diri kemerdekaan Indonesia.
Pemuda Indonesia tidak tinggal diam dan segera mengambil sikap yang
tegas. Banyak pemuda yang berdemo di depan hotel Yamato dan menyobek warna biru
pada bendera Belanda sehingga menyisakan
merah putih saja. Mereka juga sempat berunding dengan pihak Belanda pada tanggal
27 Oktober 1945. Pertemuan ini tidak menghasilkan kesepakatan apapun, justru
semakin ada pada situasi yang saling bersitegang hingga terjadi kegaduhan antara
Ploegman dan Sidik yang mengakibatkan walikota Surabaya yang di tunjuk NICA itu
tewas.
Tepat pada tanggal 29 Oktober 1945, Indonesia dan Inggris sepakat
untuk melakukan gencatan senjata. Akan tetapi, keesokan harinya, mereka bentrok
hingga menyebabkan pimpinan tentara Inggris yang bernama Jenderal Mallaby tewas
dalam mobilnya yang terbakar akibat di ledakan oleh milisi. Pada tanggal 9 November
1945 sekutu mengeluarkan ultimatum kepada warga Surabaya atas perintah Mayor Jenderal
Robert Mansergh yang menggantikan tugas Mallaby. Ultimatum tersebut menegaskan bahwa
seluruh warga Surabaya wajib menyerahkan senjata yang dimiliki kepada tentara
sekutu sebelum pukul 06.00 pagi pada tanggal 10 November 1945. Tentu ultimatum
ini semakin menyulut amarah warga Surabaya sehingga terjadi pertempuran 10 november
1945.
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 316 tahun 1959
maka setiap tanggal 10 November akan di tetapkan sebagai
hari pahlawan untuk
memperingati pertempuran di Surabaya yang mengakibatkan banyak pejuang nasional
meregang nyawa melawan penjajahan Inggris dan Belanda.
Dalam tragedi pertempuran 10 November, juga ada beberapa tokoh kenamaan yang gugur di medan perang seperti Bung Tomo yang dikenal dengan orasi-orasi yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat di berbagai siaran radio. Selain itu juga ada tokoh kunci seperti KH. Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah. Jasa-jasa mereka ini tidak dapat serta merta dilupakan begitu saja. Semangat perjuangan, sikap nasionalisme dan nilai-nilai luhur yang di ajarkan oleh para pejuang harus tetap di rawat, khususnya oleh para generasi muda bangsa Indonesia.
Pemuda
Merawat Toleransi dan
Perdamaian
Pemuda yang hidup di era milenial tentu
tidak menyaksikan secara langsung bagaimana para pejuang kemerdekaan
mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menyelesaikan konflik penjajahan Belanda,
Inggris dan Jepang. Tapi sudah sepatutnya para pemuda turut serta merawat nilai-nilai
luhur yang dibawa oleh para pahlawan. Mengutip pesan Bung Karno yang sudah
familiar di telinga orang Indonesia, bahwa sebuah negara yang besar adalah yang
tidak melupakan jas merah atau sejarahnya. Tanpa jasa dan pengorbanan para
pahlawan tentu Indonesia tidak akan menjadi bangsa seperti sekarang ini.
Kemerdekaan negara Indonesia bukan hadiah dari negara lain, melainkan hasil
dari perjuangan dan pengorbanan para syuhada pejuang kemerdekaan dan founding
fathers yang beraneka ragam latar belakangnya. Mereka berjuang dari masa mulai
merebut kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi. Sayangnya,
refleksi peringatan hari pahlawan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Banyak
generasi muda yang semakin tidak menghayati makna hari pahlawan.
Peringatan hari pahlawan seharusnya
tidak sekedar seremonial belaka. Tetapi mampu merefleksikan nilai-nilai yang
diajarkan oleh para pahlawan di berbagai lini kehidupan seperti menebar
perdamaian antar sesama manusia dan tidak menciptakan perpecahan melalui aksi intoleransi
maupun diskriminasi. Bangsa Indonesia di abad ke-21 sangat membutuhkan banyak
pahlawan baru untuk melanjutkan perjuangan menjadikan Indonesia negara yang aman,
damai, adil dan demokratis.
Belakangan ini negara Indonesia sedang
diwarnai berbagai kasus yang pelik. Demontrasi menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang
ramai di galakkan, seperti RUU-PKS dan RUU Perlindungan PRT. Ada pula seruan
aksi akibat penolakan terhadap UU Omnius Law yang terjadi dimana-mana hampir
setiap kota. Banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hak keadilan, hidup aman
dan sejahtera. Disinilah, peran generasi muda di nanti oleh berbagai elemen
masyarakat. Pemuda Indonesia haruslah menjadi tonggak dan memberikan makna baru
dengan mengisi sejarah kemerdekaan sesuai perkembangan zamannya.
Menjelang akhir tahun 2020, ada banyak
kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Mulai dari tingginya pelanggaran
kekerasan berkeyakinan dan beragama seperti pelarangan pembangunan fasilitas
tempat beribadah bagi kaum-kaum minoritas yang di intimidasi, direstriksi dan
di diskriminasi bahkan ada yang sampai di persekusi. Padahal jika menilik pada
pasal 28E ayat (1) dan (2) serta pasal
29 ayat (2) UUD RI 45 dijelaskan bahwa setiap
warga negara memiliki hak konstitusional untuk beragama dan beribadah. Selain permasalahan
tersebut, Indonesia juga krisis keadilan, perlindungan, keamanan dan
kesejahteraan bagi kaum perempuan. Meskipun eksistensi perempuan mulai terlihat
di ranah publik. Masyarakat yang sengaja di lemahkan ini membutuhkan uluran tangan
dan dukungan dari para pemuda yang menjadi penerus perjuangan nilai-nilai kemanusiaan
yang di wariskan oleh para pejuang kemerdekaan.
Mencoba belajar dari sikap
para pahlawan
terdahulu. Mereka memiliki karekteristik
seorang pahlawan yang
jujur, pemberani serta rela
melakukan apapun demi kebaikan dan kemaslahatan orang banyak. Setiap pribadi manusia adalah pahlawan. Jika belum bisa menjadi pahlawan bagi orang lain maka minimal bagi diri sendiri dan keluarga. Setidaknya sebagai pemuda Indonesia harus mampu untuk bertanya kepada diri sendiri apakah siap dan rela mengorbankan waktu untuk mengembangkan kemampuan pada bidang yang di minati.
Mari kita peringati
hari pahlawan dengan menanamkan semangat baru untuk ikut serta membangun
NKRI, tidak hanya numpang tidur saja. Inilah moment bagi para pemuda untuk
mengenang jasa dan pengorbanan para pahlawan serta ruang untuk mendialogkan
diri sekaligus ber-muhasabah untuk merenungi kontribusi apa yang dapat
di berikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
Note : Tulisan ini diikutkan dalam seleksi calon Duta Damai Yogyakarta
Kunjungi website Duta Damai Yogyakarta melalui
link berikut : https://dutadamaiyogyakarta.id