28 September 2020, saya akan
mengikuti acara pelatihan yang di adakan oleh Sekretariat Nasional Jaringan
GUSDURian. Untuk menambah wawasan sebelum mengikuti pelatihan, maka saya mencari
beberapa referensi dan mereview materi dari video tentang skill with people yang
disampaikan oleh dr. Sigit Setyawadi, SpOG dari MSO Indonesia.
Skill With People adalah
sebuah buku garapan Less Giblin yang membahas pedoman hidup sukses di jenjang
karir, keluarga, kehidupan bersosial dan bermasyarakat serta cara menjaring
relasi yang baik.
Dalam video yang berdurasi
sekitar 11 menit, dr. Sigit menjelaskan bahwa kemampuan skill with people penting
untuk dimiliki dan dikuasi setiap orang. Kemampuan ini dapat mengantarkan siapa
saja untuk meraih kesuksesannya. Beliau memaparkan bagaimana cara memahami
manusia dan kodrat manusia.
Manusia dan segala aktifitasnya
akan selalu bersinggungan dengan hidup kita. Perlu kita tahu bahwa orang lain
cenderung tertarik pada dirinya sendiri dibanding diri kita. Sedangkan kita,
berpotensi 10.000 kali lebih tertarik kepada diri kita dibanding orang lain
yang ada di muka bumi ini. Coba kita ingat, apabila kita melihat sebuah foto
dan di foto tersebut tidak ada potret gambar kita maka foto itu menjadi tidak
begitu menarik lagi. Benar?
Saya pribadi membenarkan argumen
diatas, karena terkadang hal itu saya rasakan. Foto yang didalamnya terdapat
potret diri sendiri lebih menarik dibanding yang lain.
Hal diatas membuka mata kita
bahwa kunci memahami orang lain karena semua orang tertarik pada dirinya
sendiri sehingga jika ingin menarik perhatian orang lain maka harus berusaha
tertarik kepadanya. Tentu saja hal ini tidak terlebas dari rasa suka dan
disukai.
Lalu, bagaimana cara membuat diri
kita disukai oleh orang lain?
Setiap orang menyukai orang lain
yang ‘menyukai dirinya’ dan ‘sama dengan dirinya’. Maka, kita harus belajar
untuk menyetujui pendapat orang lain dan berusaha menyamakan diri kita dengan
orang lain. Contohnya saat berbicara dengan seseorang yang berasal dari kota
Semarang, sedangkan kita juga tahu atau pernah berkunjung ke kota tersebut.
Perbincangan menjadi nyaman dan nyambung karena “sama-sama” mengerti
tentang kota Semarang.
Seni berbicara dengan orang lain
juga perlu diperhatikan. Kita perlu memilih topik yang menarik bagi lawan
bicara. Topik yang paling menarik bagi orang lain adalah berbicara tentang diri
mereka sendiri. “Bagaimana kabar keluarga anda?” atau “Dimana
anak anda belajar setelah lulusa SD kemarin”. Bukan berbicara tentang “saya”.
Kita perlu membuat orang lain merasa penting. Merasa penting dalah perasaan
yang tidak terpuaskan. Berbeda dengan makan dan minum. Ada beberapa hal yang
dapat dilakukan supaya seseorang merasa dianggap penting, yaitu: dengarkan
mereka, puji dan hargai mereka, sebutkan nama mereka, berhenti sejenak sebelum
menjawab mereka dan gunakan kata ‘anda/kamu’ dan ‘milik anda/kamu’, bukan kata ‘saya’
atau ‘milik saya’.
Jika kita sukses di fase suka dan
disukai orang lain maka dalam hal berpendapat maka akan faham seninya. Setiap orang
sering merasa bahwa apa yang di katakannya adalah sebuag kebenaran (persepsi). Jika
ada yang tidak setuju dengan pendapat tersebut dapat di anggap sebagai orang
lain yang tidak perlu di dengar pendapatnya. dr. Sigit menjelaskan jika kita
ingin pendapatnya di dengar dan di setujui oleh orang lain maka terlebih dahulu
harus belajar menyetujui pendapat orang lain. Kemudian baru berusaha masuk
untuk mempengaruhi orang lain tersebut. Cara pertama tentu dengan mengetahui
keinginannya dan menunjukkan bagaimana mereka bisa mendapatkan apa yang mereka
inginkan dengan melakukan apa yang anda ingin mereka lakukan.
Orang lain cenderung skeptis dengan hal-hal
apa saja yang dianggap menguntungkan diri kita. Sehingga dalam rangka
meyakinkan orang lain, kita perlu menggunakan bantuan orang ketiga sebagai
bukti atau penguat. Misal dalam sebuah team work, “Pak Raka telah
memakai X, pendapatannya sekarang sudah melampaui target, bla... bla... blaa”
Nah, apakah orang lain akan
langsung berkata ‘YA’? belum tentu.
Bagaimana cara membuat orang lain
mengatakan ‘YA’?
Pertama, berikanlah
alasan yang kuat dan rasional supaya mereka mengatakan ‘ya’ dan dalam sisi yang
lain juga tidak merugikan kita.
Kedua, Ajukan
pertanyaan yang potensi jawabannya adalah ‘ya’. Seperti, ‘apakah bapak ingin
sehat’.
Ketiga,
berikanlah kesempatan kepada orang lain pilihan untuk menjawab diantara dua ‘ya’.
Misalnya, ‘sebaiknya kita bertemu selepas jam 9 atau sebelumnya ya?’
Di pembahasan terakhir, dr. Sigit
menjelaskan perihal cara memuji orang lain. Manusia tidak hanya membutuhkan
makan dan minum. Pujian menjadi makanan jiwa yang baik bagi semua orang. Terkadang
seseorang disukai karena suka memuji. Jadi, mari kita belajar memuji
orang-orang di sekitar kita. Hehehe... tentu pujian-pujian yang dilontarkan
harus tulus dan yang dipuji perbuatannya, bukan orangnya.
Dr. Sigit memberikan masukan
supaya kita tidak senang memberikan kritikan kepada orang lain karena tidak ada
orang yang senang di kritik. Kritikan itu tidak membangun, yang membangun
adalah pujian. Beri pujian jika melakukan hal baik dan jangan mengkritik orang
jika berbuat kesalahan. Jika memang terpaksa memberikan umpan balik maka sampaikan
dengan membuat sandwich 3 lapis. Contohnya, sebagai seorang atasan yang
ingin mengkritik pegawai yang pemarah. Kita dapat mengingatkan dengan
memberikan sandwich 3 lapis.
Lapis pertama, berilah
3 pujian. ‘ibu ini rajin, catatannya rapi dan tulisannya juga bagus sekali’.
Lapis kedua, berilah
feed back yang menjadi umpan balik dari ‘kritan’ yang ingin di
sampaikan. ‘yang perlu ditingkatkan hanya lebih bersabar dalam menghadapi
orang lain’. Perlu diingat pula untuk tidak memberikan feed back secara
berlebihan atau bertubi-tupi. Cukup satu atau dua feed back yang paling urgent.
Lapis ketiga, tutup
dengan pujian. ‘selebihnya itu sangat keren’.
Nah, bisa nih diimplementasikan
dalam kehidupan kita. Lebih enak di dengar dan tidak menyakiti perasaan orang
lain.
Saya juga mengutip gagasan
penting yang disampaikan oleh dr. Sigit. Beliau mengatakan bahwa “Ilmu itu
tidak bernilai, yang bernilai adalah penggunaannya. Belajar apapun jika tidak
digunakan maka akan sia-sia dan tidak bernilai”.
Mengapa? karena hidup itu tidak
membayar atas apa yang kita pikirkan. Hidup membayar atas apa yang kita
lakukan.
Terimakasih. Semoga catatan
sederhana ini membawa berkah dan kelegaan di hati para pembaca. Mohon maaf jika
ada kesalahan dan kekurangan.
al-faqir al-dhoif
Laila
Fajrin Rauf
Sumber : YouTube dengan link https://youtu.be/Mv39UMR0oE0
No comments:
Post a Comment