Saturday, November 14, 2020

GARA-GARA SYAFI’I INSTITUTE

Pare atau  kota dengan sebutan Kampung Inggris menjadi salah satu tempat yang ingin aku kunjungi setelah Surabaya dan Madura. Tiga tahun lalu, sempat aku tulis dalam list target hidupku. Hingga akhirnya, aku bisa sampai ke Pare karena program Beasiswa Kursus Bahasa Inggris dari Syafi’i Institute Scholarship.

Tentu program ini sangat membantu untuk mewujudkan cita-cita seseorang dalam belajar dan terus berproses mencari pengalaman. Ada dua kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang lulus dan mengikuti program ini, aku dan dek Atun. Arahan, bimbingan dan motivasi selalu mengalir untuk mensukseskan program Syafi’i Institute Scholarship ini.

Gara-gara Syafi’i Institute juga, aku memiliki tips buat kalian yang mau ke Pare untuk pertama kalinya.

Pertama, kenali dirimu. Kamu harus tahu, sudah sejauh mana kemampuanmu tentang bahasa Inggris. Apakah yang kamu tahu hanya Yes/No saja atau lebih.

Kedua, apa tujuanmu belajar? Mau lanjut study, mendaftar beasiswa, mencari kerja, atau hanya buat “bergaya” saja. Tujuanmu ke Pare ini penting, karena ada kaitannya dengan program yang akan kamu pilih. Biar waktumu tidak terbuang percuma. Semisal, kalau mau ikut mendaftar beasiswa S2 LPDP, salah satu syaratnya adalah TOEFL dengan skor 500, jadi langsung aja ambil program TOEFL.

Ketiga,  pilih lembaga yang sesuai dengan program yang mau kamu pilih. Karena setiap lembaga punya “spesifikasi” program masing-masing.

Terakhir, tentukan kamu mau kos/camp. Jika itu adalah kali pertama kamu ke Pare dan tidak ada kenalan atau teman sama sekali lebih baik pilih camp saja.

Nah, program Beasiswa Kursus Bahasa Inggris di Pare dari Syafi’i Institute Scholarship ini mengambil program TOEFL Camp Logico. Jadi sudah sepaket kelas belajar dan tempat tinggal. Lingkungan campnya juga kondusif dan asyik.

Berhati-hatilah disana, sebab Pare itu jahat. Kita datang tanpa membawa kenangan dan harus pulang dengan menumbuhkan kerinduan. Pare selalu meminta untuk dijajaki kembali, ada banyak ilmu disana.

Tapi kalian tenang saja, Pare masih punya sisi baik. Di Pare banyak makanan yang enak dengan harga yang bersahabat. Jadi, ayo segera agendakan datang ke Pare. Belajar dengan nyaman, makan dengan nikmat, dan jangan lewatkan program belajar di Pare dari Syafi’i Institute ya.

 

*Laila Fajrin; Penerima beasiswa Syafi’i Institute Scholarship tahun 2019

Monday, November 9, 2020

HARI PAHLAWAN; REFLEKSI PERAN PEMUDA DALAM MERAWAT NILAI TOLERANSI DAN PERDAMAIAN

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”

Oleh : Laila Fajrin


Mayoritas bangsa Indonesia telah mengetahui bahwa setiap tanggal 10 November selalu di peringati sebagai hari pahlawan. Akan tetapi, tidak banyak yang memahami latar belakang mengapa tanggal 10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan. Peringatan hari pahlawan dimaksudkan untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran bahkan nyawanya untuk memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia dari tangan para penjajah.

Dahulu setelah Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 kondisi Indonesia masih semrawut dan belum stabil. Ancaman peperangan dan pemberontakan sangat masif di lakukan oleh tentara sekutu. Pertempuran Surabaya menjadi salah satu saksi kerusuhan hebat pasca kemerdekaan yang menewaskan ribuan orang Indonesia saat melawan pasukan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). 

Pertempuran Surabaya berawal dari maklumat yang dikeluarkan oleh Presiden pertama Indonesia bapak Ir. Soekarno untuk mengibarkan bendera merah putih di seluruh wilayah termasuk Surabaya pada tanggal 1 September 1945. Bersamaan dengan hal itu, NICA dan AFNEI datang untuk melucuti dan memulangkan tentara Jepang ke negaranya serta bermaksud mengembalikan Indonesia menjadi negara jajahan Belanda. Bendera Belanda juga dikibarkan di puncak hotel Yamato. Sikap ini memantik kemarahan warga Surabaya yang menganggap bahwa NICA dan AFNEI telah menginjak-nginjak sang saka merah putih dan harga diri kemerdekaan Indonesia.

Pemuda Indonesia tidak tinggal diam dan segera mengambil sikap yang tegas. Banyak pemuda yang berdemo di depan hotel Yamato dan menyobek warna biru pada bendera Belanda  sehingga menyisakan merah putih saja. Mereka juga sempat berunding dengan pihak Belanda pada tanggal 27 Oktober 1945. Pertemuan ini tidak menghasilkan kesepakatan apapun, justru semakin ada pada situasi yang saling bersitegang hingga terjadi kegaduhan antara Ploegman dan Sidik yang mengakibatkan walikota Surabaya yang di tunjuk NICA itu tewas.

Tepat pada tanggal 29 Oktober 1945, Indonesia dan Inggris sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Akan tetapi, keesokan harinya, mereka bentrok hingga menyebabkan pimpinan tentara Inggris yang bernama Jenderal Mallaby tewas dalam mobilnya yang terbakar akibat di ledakan oleh milisi. Pada tanggal 9 November 1945 sekutu mengeluarkan ultimatum kepada warga Surabaya atas perintah Mayor Jenderal Robert Mansergh yang menggantikan tugas Mallaby. Ultimatum tersebut menegaskan bahwa seluruh warga Surabaya wajib menyerahkan senjata yang dimiliki kepada tentara sekutu sebelum pukul 06.00 pagi pada tanggal 10 November 1945. Tentu ultimatum ini semakin menyulut amarah warga Surabaya sehingga terjadi pertempuran 10 november 1945.

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 316 tahun 1959 maka setiap tanggal 10 November akan di tetapkan sebagai hari pahlawan untuk memperingati pertempuran di Surabaya yang mengakibatkan banyak pejuang nasional meregang nyawa melawan penjajahan Inggris dan Belanda.

Dalam tragedi pertempuran 10 November, juga ada beberapa tokoh kenamaan yang gugur di medan perang seperti Bung Tomo yang dikenal dengan orasi-orasi yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat di berbagai siaran radio. Selain itu juga ada tokoh kunci seperti KH. Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah. Jasa-jasa mereka ini tidak dapat serta merta dilupakan begitu saja. Semangat perjuangan, sikap nasionalisme dan nilai-nilai luhur yang di ajarkan oleh para pejuang harus tetap di rawat, khususnya oleh para generasi muda bangsa Indonesia.

Pemuda Merawat Toleransi dan Perdamaian

Pemuda yang hidup di era milenial tentu tidak menyaksikan secara langsung bagaimana para pejuang kemerdekaan mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menyelesaikan konflik penjajahan Belanda, Inggris dan Jepang. Tapi sudah sepatutnya para pemuda turut serta merawat nilai-nilai luhur yang dibawa oleh para pahlawan. Mengutip pesan Bung Karno yang sudah familiar di telinga orang Indonesia, bahwa sebuah negara yang besar adalah yang tidak melupakan jas merah atau sejarahnya. Tanpa jasa dan pengorbanan para pahlawan tentu Indonesia tidak akan menjadi bangsa seperti sekarang ini. Kemerdekaan negara Indonesia bukan hadiah dari negara lain, melainkan hasil dari perjuangan dan pengorbanan para syuhada pejuang kemerdekaan dan founding fathers yang beraneka ragam latar belakangnya. Mereka berjuang dari masa mulai merebut kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi. Sayangnya, refleksi peringatan hari pahlawan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Banyak generasi muda yang semakin tidak menghayati makna hari pahlawan.

Peringatan hari pahlawan seharusnya tidak sekedar seremonial belaka. Tetapi mampu merefleksikan nilai-nilai yang diajarkan oleh para pahlawan di berbagai lini kehidupan seperti menebar perdamaian antar sesama manusia dan tidak menciptakan perpecahan melalui aksi intoleransi maupun diskriminasi. Bangsa Indonesia di abad ke-21 sangat membutuhkan banyak pahlawan baru untuk melanjutkan perjuangan menjadikan Indonesia negara yang aman, damai, adil dan demokratis.

Belakangan ini negara Indonesia sedang diwarnai berbagai kasus yang pelik. Demontrasi menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang ramai di galakkan, seperti RUU-PKS dan RUU Perlindungan PRT. Ada pula seruan aksi akibat penolakan terhadap UU Omnius Law yang terjadi dimana-mana hampir setiap kota. Banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hak keadilan, hidup aman dan sejahtera. Disinilah, peran generasi muda di nanti oleh berbagai elemen masyarakat. Pemuda Indonesia haruslah menjadi tonggak dan memberikan makna baru dengan mengisi sejarah kemerdekaan sesuai perkembangan zamannya.

Menjelang akhir tahun 2020, ada banyak kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Mulai dari tingginya pelanggaran kekerasan berkeyakinan dan beragama seperti pelarangan pembangunan fasilitas tempat beribadah bagi kaum-kaum minoritas yang di intimidasi, direstriksi dan di diskriminasi bahkan ada yang sampai di persekusi. Padahal jika menilik pada pasal 28E ayat (1) dan (2)  serta pasal 29 ayat (2)  UUD RI 45 dijelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk beragama dan beribadah. Selain permasalahan tersebut, Indonesia juga krisis keadilan, perlindungan, keamanan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan. Meskipun eksistensi perempuan mulai terlihat di ranah publik. Masyarakat yang sengaja di lemahkan ini membutuhkan uluran tangan dan dukungan dari para pemuda yang menjadi penerus perjuangan nilai-nilai kemanusiaan yang di wariskan oleh para pejuang kemerdekaan.

Mencoba belajar dari sikap para pahlawan terdahulu. Mereka memiliki karekteristik seorang pahlawan yang jujur, pemberani serta rela melakukan apapun demi kebaikan dan kemaslahatan orang banyak. Setiap pribadi manusia adalah pahlawan. Jika belum bisa menjadi pahlawan bagi orang lain maka minimal bagi diri sendiri dan keluarga. Setidaknya sebagai pemuda Indonesia harus mampu untuk bertanya kepada diri sendiri apakah siap dan rela mengorbankan waktu untuk mengembangkan kemampuan pada bidang yang di minati.

Mari kita peringati hari pahlawan dengan menanamkan semangat baru untuk ikut serta membangun NKRI, tidak hanya numpang tidur saja. Inilah moment bagi para pemuda untuk mengenang jasa dan pengorbanan para pahlawan serta ruang untuk mendialogkan diri sekaligus ber-muhasabah untuk merenungi kontribusi apa yang dapat di berikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia

 

Note : Tulisan ini diikutkan dalam seleksi calon Duta Damai Yogyakarta

Kunjungi website Duta Damai Yogyakarta melalui link berikut : https://dutadamaiyogyakarta.id


Tuesday, November 3, 2020

MINI STORY OF KPG SANTRI GUS DUR


“Kita adalah produk dari keputusan-keputusan yang kita ambil, bukan produk dari keadaan”

–Jay Ahmad, 2020–

 

Sejak hari Jum’at tanggal 23 Oktober 2020, aku mengikuti kegiatan Kelas Pemikiran Gus Dur atau yang sering disebut KPG. Kegiatan ini di adakan oleh komunitas Santri Gus Dur Jogja dan diikuti sebanyak 48 peserta dari berbagai latar belakang.

Setiap peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk saling berdiskusi guna bertukar pikiran terkait dengan sosok Gus Dur dan gagasan-gagasan yang telah diwariskan. Masing-masing kelompok dipandu oleh satu fasilitator. Mas Ziko adalah fasilitator yang membersamai kelompokku; Jenderal Hoegeng.

Ada yang unik dari kelompok ini, setiap anggota sering menyapa anggota yang lain dengan sapaan akrab; “Jenderal”. Menarik bukan?

Btw, ini adalah kali pertama aku mendengar nama Jenderal Hoegeng. Jangan diketawain ya! Wkwkwk~

Berbekal kuota internet, aku mencari tahu sebenarnya siapa Jenderal Hoegeng? Ternyata Jenderal Hoegeng Imam Santoso adalah seorang pahlawan Indonesia yang lahir di Pekalongan pada tahun 1921, beliau pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ke-5. Setelah beliau wafat, namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit Bhayangkara di Mamuju, Sulawesi Barat. Selain aktif di dunia kepolisian, ternyata Jenderal Hoegeng terkenal sebagai kelompok pemusik Hawai di The Hawaiian Seniors sebagai seorang penyanyi sekaligus pemain ukulele. Pas banget sama latar belakang fasilitator kelompok 2 yang juga mendalami dunia seni di ISI Yogyakarta. Next time, akan ku buat catatan kecil untuk Pahlawan Indonesia yang telah membersamai pergerakan kelompok 2 di KPG tahun ini serta apakah ada keterkaitan antara beliau dengan sosok Gus Dur? Doakan ya!

_______

Berbicara tentang sosok Abdurrahman Wahid atau yang sering disapa Gus Dur sebenarnya sudah tidak asing lagi ditelingaku. Sejak di Semarang, aku sudah berproses bersama dengan teman-teman di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Walisongo Semarang. Pemakaian nama Gus Dur sebagai nama rayon tentu bukan tanpa alasan. Sosok beliau memang luar biasa menginspirasi berbagai kalangan. Aku pikir, beberapa tahun bertumbuh di Rayon Gus Dur cukup memberikanku pengetahuan yang luas tentang sosok Gus Dur. Ternyata setelah mengikuti KPG, apa yang aku ketahui masih sangat dangkal.

Setelah 3 hari mengikuti serangkaian acara dari kelas pemikiran Gus Dur, aku cukup ‘mantuk-mantuk’ dan juga ‘geleng-geleng’ karena ada banyak sekali hal yang baru aku ketahui tentang sosok bapak pluralisme Indonesia ini.

Ku pikir aku cukup mengenal pemikiran beliau, ternyata aku salah. Sosok Gus Dur benar-benar multidimensi. Gus Dur dapat menerobos berbagai ruang dalam satu waktu. Perjalanan hidup Gus Dur bak simponi yang indah untuk di dengar ceritanya, selalu menarik dan menakjubkan. Apalagi kalau yang bercerita adalah sahabat Gus Dur seperti Kyai Husein, Gus Mus dan Mas Marzuki Wahid.

Saat membahas biografi Gus Dur, aku baru meyadari ada dampak yang cukup besar terkait dengan Gus Dur kecil yang bersekolah di sebuah Sekolah Dasar Kristen bernama SD Matraman Perwari di Jakarta. Bagi orang awam, melihat sosok Kyai sekaligus Menteri Agama menyekolahkan anaknya di sekolah yang memiliki background berbeda pasti akan menjadi sebuah kontroversi. Disinilah benih-benih rasa penasaranku muncul, sebenarnya apa alasan kyai Wahid Hasyim menyekolahkan Gus Dur di sekolah Kristen dan bagaimana proses awal Gus Dur berkenalan dengan dunia barat, mengingat saat SMEP di Yogyakarta Gus Dur sudah membaca buku-buku barat seperti Das Kapital yang di tulis oleh Karl Marx, Filsafat Plato dan juga Filsafat Aristoteles tetapi masih jadi santri di beberapa pesantren besar. Ini sangat menarik untuk dikaji. Iyakan?

Nah, pasca berpulangnya Gus Dur ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa. Lahirlah 9 Nilai Utama Gus Dur yang sempat dikupas dan direfleksikan dalam river of life selama KPG di sesi Kelas Pemikiran berlangsung. Inilah bagian yang memberikan kesan terdalam bagi  peserta seperti aku dan mas Bibul, setidaknya itu yang aku dengar dari beberapa teman saat di tanya oleh mas Sholikhin, Fasilitator KPG dari Seknas GUSDURian. Kadang aku berfikir dan membayangkan bagaimana keluarga Gus Dur, para sahabat, murid-murid dan muhibbin beliau merumuskannya. Pasti tidaklah mudah, butuh waktu yang panjang dan analisis yang mendalam terkait sepak terjang dari sosok Gus Dur.

Di tanggal 24 Oktober, aku dan teman-teman peserta KPG di suguhkan materi dan diajak berdiskusi tentang gagasan Gus Dur terkait keislaman, kebudayaan dan demokrasi. Materi ini disampaikan oleh teh Wiwin dari Srikandi Lintas Iman (Srili Jogja). Teh Wiwin berkata bahwa perjuangan Gus Dur memang murni membela kaum-kaum tertindas. Visinya adalah memanusiakan manusia. Tidak peduli dari mana asalnya, apa ras, suku dan bangsanya, apa agamanya, apa warna kulit tubuhnya, apa jenis kelaminnya, selama dia adalah manusia yang perlu di bela hak-haknya, maka disitulah Gus Dur siap pasang badan.

Selain membahas gagasan Gus Dur, panitia juga menyajikan materi tentang personal leadership atau kepemimpinan yang disampaikan oleh mas Jay Ahmad selaku koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian. Berbagai motivasi yang membangun datang menghunjam pikiranku, tentu juga dengan peserta yang lain. Salah satu yang paling melekat adalah saat mas Jay menyampaikan ucapan dari seorang tokoh sufi bernama Rumi yang mengatakan bahwa ‘Kemarin aku pintar, aku akan merubah dunia. Hari ini akau bijak, aku akan merubah diriku sendiri’. Nasehat yang membawaku untuk merefresh niat dalam belajar. Ya, seperti sedang ditegur untuk terus bertumbuh dalam kebaikan dan introspeksi diri.

Mas Jay secara apik membedah buku Seven Habits yang di tulis oleh Sthephen Covey. Buku yang menceritakan tentang tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif. Seperti sedang meditasi, mas Jay menjelaskan bahwa menjadi manusia harus proaktif. Tidak berpangku tangan dan terus grow up. Jika kita ingin perubahan kecil dalam hidup maka cukup dengan merubah perilaku, tetapi jika kita menghendaki perubahan besar maka ubahlah paradigma atau cara pandang, itulah salah satu kutipan dari buku Stephen Covey.

Ada banyak hal yang aku rasakan berbeda setelah mengikuti kelas pemikiran Gus Dur. Sebagian aku sampaikan melalui cerita sederhana di atas. Sebagian masih ku simpan di sanubari. Aku percaya, Gus Dur adalah pahlawan dan beliau tidak pernah benar-benar meninggalkan kita meski telah dimakamkan. Segala kebaikan yang di contohkan oleh Gus Dur masih tumbuh dengan subur. Aku juga percaya, bahwa setiap kebaikan selalu memiliki teman. Mungkin dengan merawat pluralisme untuk kemaslahatan umat manusia, juga bangsa dan negara serta menebar gagasan pemikiran Gus Dur adalah cara yang paling sederhana untuk mengenang dan menjadikan Gus Dur sosok inspiratif.

Selamat jalan Gus. Kami merindukanmu..

ilaa hadhoroti khususon Kyai Abdurrahman Wahid allahuyarham, al-fatihah..

________

Yogyakarta, 04-11-2020

Al-fakir al-dhoif,

Laila Fajrin

 


Sunday, September 27, 2020

SKILL WITH PEOPLE


28 September 2020, saya akan mengikuti acara pelatihan yang di adakan oleh Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian. Untuk menambah wawasan sebelum mengikuti pelatihan, maka saya mencari beberapa referensi dan mereview materi dari video tentang skill with people yang disampaikan oleh dr. Sigit Setyawadi, SpOG dari MSO Indonesia.

Skill With People adalah sebuah buku garapan Less Giblin yang membahas pedoman hidup sukses di jenjang karir, keluarga, kehidupan bersosial dan bermasyarakat serta cara menjaring relasi yang baik.

Dalam video yang berdurasi sekitar 11 menit, dr. Sigit menjelaskan bahwa kemampuan skill with people penting untuk dimiliki dan dikuasi setiap orang. Kemampuan ini dapat mengantarkan siapa saja untuk meraih kesuksesannya. Beliau memaparkan bagaimana cara memahami manusia dan kodrat manusia.

Manusia dan segala aktifitasnya akan selalu bersinggungan dengan hidup kita. Perlu kita tahu bahwa orang lain cenderung tertarik pada dirinya sendiri dibanding diri kita. Sedangkan kita, berpotensi 10.000 kali lebih tertarik kepada diri kita dibanding orang lain yang ada di muka bumi ini. Coba kita ingat, apabila kita melihat sebuah foto dan di foto tersebut tidak ada potret gambar kita maka foto itu menjadi tidak begitu menarik lagi. Benar?

Saya pribadi membenarkan argumen diatas, karena terkadang hal itu saya rasakan. Foto yang didalamnya terdapat potret diri sendiri lebih menarik dibanding yang lain.

Hal diatas membuka mata kita bahwa kunci memahami orang lain karena semua orang tertarik pada dirinya sendiri sehingga jika ingin menarik perhatian orang lain maka harus berusaha tertarik kepadanya. Tentu saja hal ini tidak terlebas dari rasa suka dan disukai.

Lalu, bagaimana cara membuat diri kita disukai oleh orang lain?

Setiap orang menyukai orang lain yang ‘menyukai dirinya’ dan ‘sama dengan dirinya’. Maka, kita harus belajar untuk menyetujui pendapat orang lain dan berusaha menyamakan diri kita dengan orang lain. Contohnya saat berbicara dengan seseorang yang berasal dari kota Semarang, sedangkan kita juga tahu atau pernah berkunjung ke kota tersebut. Perbincangan menjadi nyaman dan nyambung karena “sama-sama” mengerti tentang kota Semarang.

Seni berbicara dengan orang lain juga perlu diperhatikan. Kita perlu memilih topik yang menarik bagi lawan bicara. Topik yang paling menarik bagi orang lain adalah berbicara tentang diri mereka sendiri. “Bagaimana kabar keluarga anda?” atau “Dimana anak anda belajar setelah lulusa SD kemarin”. Bukan berbicara tentang “saya”. Kita perlu membuat orang lain merasa penting. Merasa penting dalah perasaan yang tidak terpuaskan. Berbeda dengan makan dan minum. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan supaya seseorang merasa dianggap penting, yaitu: dengarkan mereka, puji dan hargai mereka, sebutkan nama mereka, berhenti sejenak sebelum menjawab mereka dan gunakan kata ‘anda/kamu’ dan ‘milik anda/kamu’, bukan kata ‘saya’ atau ‘milik saya’.

Jika kita sukses di fase suka dan disukai orang lain maka dalam hal berpendapat maka akan faham seninya. Setiap orang sering merasa bahwa apa yang di katakannya adalah sebuag kebenaran (persepsi). Jika ada yang tidak setuju dengan pendapat tersebut dapat di anggap sebagai orang lain yang tidak perlu di dengar pendapatnya. dr. Sigit menjelaskan jika kita ingin pendapatnya di dengar dan di setujui oleh orang lain maka terlebih dahulu harus belajar menyetujui pendapat orang lain. Kemudian baru berusaha masuk untuk mempengaruhi orang lain tersebut. Cara pertama tentu dengan mengetahui keinginannya dan menunjukkan bagaimana mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan melakukan apa yang anda ingin mereka lakukan.

 Orang lain cenderung skeptis dengan hal-hal apa saja yang dianggap menguntungkan diri kita. Sehingga dalam rangka meyakinkan orang lain, kita perlu menggunakan bantuan orang ketiga sebagai bukti atau penguat. Misal dalam sebuah team work, “Pak Raka telah memakai X, pendapatannya sekarang sudah melampaui target, bla... bla... blaa”

Nah, apakah orang lain akan langsung berkata ‘YA’? belum tentu.

Bagaimana cara membuat orang lain mengatakan ‘YA’?

Pertama, berikanlah alasan yang kuat dan rasional supaya mereka mengatakan ‘ya’ dan dalam sisi yang lain juga tidak merugikan kita.

Kedua, Ajukan pertanyaan yang potensi jawabannya adalah ‘ya’. Seperti, ‘apakah bapak ingin sehat’.

Ketiga, berikanlah kesempatan kepada orang lain pilihan untuk menjawab diantara dua ‘ya’. Misalnya, ‘sebaiknya kita bertemu selepas jam 9 atau sebelumnya ya?’

Di pembahasan terakhir, dr. Sigit menjelaskan perihal cara memuji orang lain. Manusia tidak hanya membutuhkan makan dan minum. Pujian menjadi makanan jiwa yang baik bagi semua orang. Terkadang seseorang disukai karena suka memuji. Jadi, mari kita belajar memuji orang-orang di sekitar kita. Hehehe... tentu pujian-pujian yang dilontarkan harus tulus dan yang dipuji perbuatannya, bukan orangnya.

Dr. Sigit memberikan masukan supaya kita tidak senang memberikan kritikan kepada orang lain karena tidak ada orang yang senang di kritik. Kritikan itu tidak membangun, yang membangun adalah pujian. Beri pujian jika melakukan hal baik dan jangan mengkritik orang jika berbuat kesalahan. Jika memang terpaksa memberikan umpan balik maka sampaikan dengan membuat sandwich 3 lapis. Contohnya, sebagai seorang atasan yang ingin mengkritik pegawai yang pemarah. Kita dapat mengingatkan dengan memberikan sandwich 3 lapis.

Lapis pertama, berilah 3 pujian. ‘ibu ini rajin, catatannya rapi dan tulisannya juga bagus sekali’.

Lapis kedua, berilah feed back yang menjadi umpan balik dari ‘kritan’ yang ingin di sampaikan. ‘yang perlu ditingkatkan hanya lebih bersabar dalam menghadapi orang lain’. Perlu diingat pula untuk tidak memberikan feed back secara berlebihan atau bertubi-tupi. Cukup satu atau dua feed back yang paling urgent.

Lapis ketiga, tutup dengan pujian. ‘selebihnya itu sangat keren’.

Nah, bisa nih diimplementasikan dalam kehidupan kita. Lebih enak di dengar dan tidak menyakiti perasaan orang lain.

Saya juga mengutip gagasan penting yang disampaikan oleh dr. Sigit. Beliau mengatakan bahwa “Ilmu itu tidak bernilai, yang bernilai adalah penggunaannya. Belajar apapun jika tidak digunakan maka akan sia-sia dan tidak bernilai”.

Mengapa? karena hidup itu tidak membayar atas apa yang kita pikirkan. Hidup membayar atas apa yang kita lakukan.

Terimakasih. Semoga catatan sederhana ini membawa berkah dan kelegaan di hati para pembaca. Mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan.

 

al-faqir al-dhoif

Laila Fajrin Rauf

Sumber : YouTube dengan link https://youtu.be/Mv39UMR0oE0

Friday, September 25, 2020

BETTY FRIEDAN; THE FEMININE MYSTIQUE


Hari Sabtu pukul 09.00 WIB, saya berhasil menuntaskan satu topik pembahasan di Ngaji Filsafat dengan tema Perempuan Berbicara Perempuan atau sering di kenal dengan istilah Feminisme. Kali ini, Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag yang belakangan saya tahu bahwa beliau merupakan salah satu dosen Fakultas Ushuluddin di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan tentang tokoh feminis dari Amerika Serikat yang bernama Betty Friedan. Bagi teman-teman aktivis feminis pasti akrab dengan nama Betty Friedan, atau bahkan sudah khatam membaca buku-buku karya Friedan yang berbicara tentang perempuan dan keperempuanan.

Jujur, saya baru berkenalan dengan Betty Friedan melalui penjelasan yang dipaparkan oleh Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. Karena ada i’tikad sederhana untuk mengenang dan mengingat materi atau kisah luar biasa dari Betty Friedan, akhirnya saya memutuskan untuk menulis sedikit pengetahuan yang mampu saya serap dari penjelasan beliau yang berdurasi sekitar 2 jam.

Siapa Betty Friedan?

Betty Friedan lahir di abad 20, tepatnya tahun 1921 dan meninggal dunia pada tahun 2008 di usianya yang ke 85. Friedan merupakan nama suaminya. Ditahun 1960, Betty Friedan menulis satu buku yang berjudul Feminine Mystique. Dia adalah seorang jurnalis yang aktif melakukan penelitian. Buku inilah yang akan menjadi titik awal lahirnya gelombang baru dalam dunia feminisme. Dari sini juga akhirnya muncul istilah emansipasi wanita. Betty Friedan juga mendirikan organisasi yang visinya menyadarkan para perempuan.

Ada gagasan apa di feminisnya Betty Friedan?

Pertanyaan ini menjadi dasar untuk mengenal lebih jauh tentang pemikiran Friedan. Pemikiran Friedan dipengaruhi dari hasil penelitiannya terhadap majalah maupun kora-koran yang di distribusikan kepada masyarakat luas, khususnya majalah perempuan yang cenderung berbicara tentang fashion, make-up, resep masakan maupun tips dalam berumah tangga. Sedangkan majalah laki-laki berisi tentang informasi sepakbola, olahraga, atau bisnis. Bagi Friedan, majalah-majalah ini menjadi salah satu bentuk dikotomi yang akhirnya menjadi akar lahirnya bias gender. Bukankah, majalah itu adalah majalah, tidak ada majalah berjenis laki-laki atau majalah berjenis perempuan. Jika pikiran kita masih membedakan antara majalah perempuan dan majalah laki-laki maka itulah yang ‘diserang’ oleh Friedan.

Kenapa perempuan perlu bergerak? Karena, nasib perempuan tidak terlalu bagus. Sayangnya, masih banyak perempuan yang tidak sadar akan hal tersebut dan cenderung menikmatinya. Friedan dalam bukunya tidak menyerang laki-laki, tapi justru menyerang perempuan supaya sadar dengan kondisi yang sedang dihadapi.

Mengutip penelitian dari Robert Jackson dan George Sorensen (2006), dijelaskan beberapa perbandingan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang. Di dunia properti, perempuan hanya memiliki 1% properti dunia. Artinya, 99% properti dunia atas nama laki-laki. 5% perempuan menjadi kepala Negara dan menteri dalam kabinet. Perempuan menghabiskan kurang lebih 60% waktunya untuk bekerja, lebih banyak dari bagian laki-laki yang hanya 40%. Akan tetapi, perlu di analisis bersama bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan lebih banyak, lebih capek dan cenderung ditempatkan di sektor yang tidak penting atau tidak cukup berpengaruh. Dari pekerjaan yang berat tersebut, perempuan memperoleh gaji 10% dari seluruh pendapatan. Perempuan juga mewakili 60% dari penyandang buta huruf dan 80% dari seluruh pengungsi bersama dengan anak-anaknya.

Nah, dari sinilah akhirnya muncul pembahasan tentang Filsafat Keadilan yang berbicara Equity (Fairness). Setara tidak hanya diberikan kesamaan, tetapi setara berarti diberikan keadilan. Situasinya bukan lagi persamaan, karena posisinya dari awal sudah jomplang. Keadilan inilah yang diperjuangkan oleh para feminis. Untuk itu dibutuhkan keberpihakan atau mainstreeming.

Kita tentu faham, bahwa budaya kita ini dibentuk oleh mayoritas laki-laki atau sering kita sebut “PERADABAN PATRIARKHI”. Sehingga dunia dibentuk versi laki-laki yang kadang tidak peka dengan kebutuhan perempuan. Itulah yang akhirnya melahirkan ketimpangan gender. Gender merupakan peran sosial laki-laki dan perempuan, berbeda dengan seks yang bersifat kodrati. Karena gender ini merupakan peran, maka gender dapat dibentuk melalui kesepakan. Sayangnya, meski melalui kesepakatan, tugas perempuan jatuhnya sering tidak enak. Dalam buku teks Bahasa Indonesia Sekolah Dasar misalnya, kita sering mendengar narasi yang berbunyi “Di pagi hari, Ayah minum kopi sambil baca koran. Sedangkan ibu pergi ke pasar”. Narasi ini tentu membentuk pandangan dalam masyarakat, bisa jadi sebelum berangkat ke pasar, ibu harus memasak, mencuci dan menyapu. Sedangkan bapak cuma minum kopi.

Sekedar untuk menambah pengetahuan. Jika kalian pengagum filsuf pertama seperti Aristoteles dan Plato, maka kalian harus tahu bahwa mereka mengatakan bahwa perempuan adalah setengah manusia. Artinya, perempuan tidak menjadi sosok manusia secara utuh dan penuh. Tidak berhak atas hak-hak yang semestinya harus mereka dapatkan.

Problematika Gender

Secara umum ada 5 permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam gender, Yaitu :

Marginalisasi, peminggiran perempuan dari dunia pendidikan, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Contohnya, perempuan yang kuliah S3 akan sulit mendapatkan jodoh.

Double Burden atau pemberian beban kerja yang lebih panjang dan berat.

Subordinasi, pandangan bahwa perempuan merupakan sosok yang tidak penting. Perempuan hadir hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki.

Stereotip atau pelabelan negatif. Misalnya, perempuan adalah sosok yang lemah, cerewet, manja dan tidak dapat hidup mandiri.

Violance, kekerasan yang berbentuk fisik maupun non fisik.

Lalu, dari mana sumber problematika gender berasal?

Sumber problematika gender berasal dari ideologi patriarkhi (peradaban laki-laki). Ideologi ini menempatkan laki-laki sebagai superordinat dan perempuan sebagai subordinat. Ideologi patriarkhi melahirkan stratifikasi gender, yaitu ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, dan prevelese antara laki-laki dan perempuan. Stratifikasi gender ini yang mendorong lahirnya gerakan sosial dikalangan kaum perempuan yang bertujuan untuk membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan. Gerakan inilah yang di sebut sebagai FEMINISME. Feminisme lahir pertama kali di Prancis pada abad ke-18 dan menyebar ke negara-negara di benua Eropa, Amerika dan Asia.

Gerakan feminisme mengalami 3 gelombang besar. First wave  tahun 1846-1915. Perempuan mendapatkan kesetaraan dihadapan hukum. Mereka memiliki hak pilih, kontrak kepemilikan dan legal recognition. Second wave tahun 1960-1990. Perempuan memperoleh kesetaraan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pekerjaan, upah, dan hak reproduksi. Third wave, tahun 1990–present. Masa ini disebut era postmodern. Tekanannya ada pada hal-hal kultural, keragaman dan lainnya. Nah, Betty Friedan memiliki peranan yang besar di masa ke dua dan ketiga. Bahkan diakhir hidupnya, Friedan sempat mengkritik feminis lesbian dan feminis radikal.

The Feminine Mystique

Buku Betty Friedan yang berjudul The Feminine Mystique menjelaskan tentang rahasia feminis perempuan yang tersembunyi. Di masa kehidupan Friedan, mayoritas masyarakat khususnya para perempuan memiliki persepsi bahwa nilai tertinggi yang dimiliki perempuan adalah komitmennya pada keperempuannya (yang orientasinya kedalam, seperti memasak, bersolek, mencuci, momong anak dan sebagainya). Perempuan dianggap hebat ‘cukup’ dengan berada di posisi ini. Bagi Friedan, pandangan ini memenjarakan perempuan, karena perempuan yang tidak bisa masak, mencuci, bersih-bersih dianggap memiliki nilai yang rendah.

Bahkan ada anggapan yang mengatakan bahwa “to be a woman is to act like so. To be otherwise is to be unfeminine, not-woman”. Perempuan dituntut melakukan hal-hal ‘keperempuanan’. Jika tidak melakukannya, maka perempuan akan menjadi laki-laki. Tidak perempuan lagi. Jika dia berkarya (bertanding) di lahan yang sama dengan laki-laki berarti dia ingin menjadi laki-laki sehingga tidak akan bahagia di tengah masyarakat, perempuan sejati hanya akan bahagia diranah domestik. Tentunya, ini menjadi narasi yang menakutkan bagi perempuan untuk mengembangkan kemampuannya di sektor lain. perempuan menjadi hanya terfokus untuk di berdiam diri di rumah, menjadi ibu rumah tangga dan mengurus suami serta anak-anaknya.

Apakah tidak boleh jika perempuan pandai masak, mengurus rumah, mencuci dan lain-lainnya? Boleh.

Lalu kenapa di permasalahkan oleh Betty Friedan?

The Problem That Has No-Name

Betty Friedan melakukan penelitian melalui narasi-narasi yang ada pada majalah, koran dan juga mewawancarai para perempuan. Penelitiannya menghasilkan ketidakpuasan yang di alami oleh para ibu rumah tangga dari kelas menengah atas yang tinggal di daerah pinggiran (Suburban) dan pandangannya terhadap peran perempuan sebagaimana yang digambarkan majalah-majalah perempuan saat itu. Menurut Friedan, perempuan saat itu kurang tegas dan lebih berorientasi domestik (berkiblat pada hal-hal yang bersifat keputrian dan kerumahtanggaan). Para perempuan cenderung memikirkan ‘Bagaimana suamiku? Bagaimana anakku? Bagaimana rumah tanggaku?’. Orientasinya kedalam, dia tidak berfikir pemenuhan dirinya sebagai manusia.

Hal-hal tersebut juga di dukung dengan media televisi, majalah dan surat kabar yang menggambarkan sosok perempuan idaman adalah yang pandai memasak, berdandan dan mengurus rumah. Para editor majalah perempuan saat itu (era 1960-an) tampak mengasumsikan bahwa perempuan tidak akan tertarik pada bidang politik maupun urusan dunia luar yang lain.

Ada satu paragraf yang diungkap Betty Friedan dalam buku The Feminine Mystique :

“The problem lay buried. Unspoken. For many years in the minds of American woman. It was a stronge stirring. A sense of dissatisfaction. A yearning that woman suffered in the middle of the 20th century in the united states. Each Suburban wife struggled with it alone. As she made the beds. Shopped for groceries ... She was afraid to ask even of her self the silent question. –“is this all?”

Untuk mempermudah pembaca, saya sertakan maksud dari paragraf diatas :

“Problem ini terkubur. Tidak terkatakan. Bertahun-tahun dipikiran perempuan Amerika. Ini adalah satu persoalan aneh yang campur aduk. Satu rasa tidak puas. Satu kerinduan. Satu keinginan. Satu lamunan bahwa mengapa perempuan tersiksa di abad 20 di Amerika. Setiap istri berjuang dengan problem ini sendirian. Saat dia menata ranjang. Belanja untuk kebutuhan rumah tangga. Dia takut untuk bertanya bahkan kepada dirinya sendiri. Satu pertanyaan diam-diam. –“Apa hanya ini?” (yang dapat saya lakukan dalam hidup)

Akibatnya, perempuan mengalami krisis identitas. Perempuan menjadi sulit memahami dirinya sendiri dan sulit menentukan pilihan untuk mengikuti kata hati atau pikiran yang tidak sejalan.

Krisis Identitas Perempuan

Perempuan menghadapi krisis akan peran apa yang sebenarnya harus mereka mainkan. Friedan mengingat keputusannya yang pernah menghentikan karir demi mengurus anak-anaknya. Ternyata, ia melihat kembali fenomena serupa pada perempuan muda yang masih bergelut dengan keputusan yang sama. Friedan juga mengaca kepada pengalaman pribadinya. Dahulu Friedan pernah memiliki kekasih yang memintanya berhenti kuliah dan memiliki suami yang memintanya berhenti bekerja. Karena hal tersebut, Friedan membedakan antara work dan job. Bagi Friedan, job adalah pekerjaan yang menghasilkan uang, sedangkan work adalah karya, dan manusia perlu untuk terus berkarya.

Banyak perempuan yang memilih putus sekolah untuk menikah. Mereka khawatir, apabila terlalu lama menunggu dan terdidik akan gagal membuat calon suami senang dan terkesan. Banyak perempuan yang tidak menemukan penemuan dalam ruang sempit mereka sebagai istri atau ibu. Dalam benaknya, perempuan dihantui rasa takut bersalah, khususnya pada pemikiran “jika saya berpendidikan, dapatkah saya membahagiakan keluarga?”

Betty Friedan menyimpulkan bahwa perempuan modern di tahun 1960-an secara umum mencita-citakan 3 hal; heart, home dan husband. Percintaan yang romantis, rumah yang nyaman dan suami yang mapan. Perempuan menghilangkan hasrat untuk hidup mandiri dan mencurahkan segala perhatian hanya untuk mengurus suami, anak, dan rumah. Apakah yang di lakukan perempuan di masa itu dianggap salah oleh Betty Friedan? TIDAK. Yang dilakukan perempuan bukanlah hal yang salah. Hanya saja mereka tidak memikirkan diri sendiri. Tentu Friedan tidak bermaksud menyalahkan suami maupun anak. Dia hanya ingin mengatakan kepada perempuan “Ayo, pikirkan dirimu juga!”

Friedan juga mengatakan bahwa para perempuan ini (diera 1960-an) hidupnya nyaman tapi tidak terdorong untuk berkembang, berpendidikan tetapi tidak intelektual (produktif), mereka hanya terobsesi untuk membuat anak, mengurus rumah dan dan hal yang tidak penting. It this all? Apa hanya itu yang dapat dilakukan perempuan?

Selain pandangan perempuan yang masih tertutup, the sex-directed education juga menjadi penghalang perjuangan feminisme karena mereka termasuk agen yang melanggengkan inferioritas perempuan. Mereka adalah orang-orang terdidik, terpelajar dan terpandang sehingga sulit untuk membantah argumennya. Mereka fokus mengajarkan kepada perempuan tentang “apa yang boleh dilakukan” dan “apa yang tidak boleh dilakukan”. Jika dianalisis, artinya mereka telah membuat aturan supaya perempuan berkedudukan inverior atau dibawah laki-laki. Bukannya mengajarkan supaya perempuan berpikir kritis terhadap prasangka popular yang keliru tentang perempuan.

Dalam struktur yang meminggirkan perempuan, akhirnya rumah menjadi comfortable concentration camp atau tempat ternyaman. Freidan menggambarkan bahwa perempuan dipenjara tetapi merasa nyaman karena mereka tidak sadar. Dengan berada di rumah, perempuan akan merasa bosan dan menghabiskan waktunya untuk mengerjakan hal-hal yang kurang berarti atau cenderung melelahkan. Parahnya, perempuan akan mengalami dehumanization and passive nonidentity seperti kepasifan ego yang lemah, anti sosial, tidak mampu berfikir abstrak, penolakan terhadap tujuan hidup, cita-cita dan ambisi. Hasilnya, diri perempuan yang dikorbankan (the forfeited self). Perempuan tidak punya kejelasan arah untuk masa depan, membunuh kemampuan dirinya dan mengorbankan sisi kemanusiaannya.

Apa yang harus dilakukan?

Betty Friedan menawarkan tugas utama yang harus dilakukan, yaitu REMEDY. Membentuk ulang secara drastis tentang femininitas yang bagus. Ada beberapa hal yang harus direalisasikan :

Upaya untuk membentuk kembali image-image tentang makna perempuan dan keperempuanan.

Pemberhentian pernikahan dini secara masif dan didukung oleh pihak keluarga (orang tua),    pendidik, pemerintah, editor majalah, dan lain sebagainya.

Perempuan hendaknya dihentikan dari keinginannya untuk sekedar menjadi ibu rumah tangga dengan jalan pemberian pendidikan yang tinggi atau setinggi-tingginya. Perempuan juga berhak bermimpi dan mewujudkan mimpinya.

Tujuan dari remidy adalah supaya perempuan menjadi manusia yang penuh, tidak hanya sebagai pelengkap laki-laki. Perempuan juga bebas menentukan “what one is going to be” yang secara tradisional menjadi ranah laki-laki. Perangkat kemanusiaan yang berupa akal, perasaan dan kekuatan dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Yang membedakan hanya perihal ‘seks’ seperti menstruasi, hamil dan melahirkan. Berbicara politik, ekonomi, sosial, budaya bukan berbicara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama berkedudukan sebagai manusia. Simply to become fully human.

Kutipan Nasehat dari Betty Freidan

Di bagian terakhir, saya ingin memberikan kutipan yang dapat menjadi nasehat bagi kita, khususnya para perempuan di era postmodern. Freidan mengatakan dalam bukunya :

“Tentu saja ada banyak perempuan yang bahagia menjadi ibu rumah tangga dan keahlian sepenuhnya adalah menjadi ibu rumah tangga. Namun, kebahagiaan itu tidak sama dengan ‘kepenuhan hidup’ karena manusia bukanlah makhluk statis”

Maksudnya, Freidan ingin menyampaikan bahwa sebagai perempuan janganlah merasa puas dengan kesibukan di ranah domestik. Begitupun sebagai laki-laki, tidak lantas merasa puas dengan kesibukan diluar rumah.

Freidan juga menasehatkan kalimat singkat yang sarat makna “Grow or Die”. Tumbuh atau mati. Jangan menjadi manusia statis yang mandek, tidak berkembang. Semakin hari, seharusnya semakin baik dan baik, semakin berkualitas dan berkualitas. Jika tidak, maka you are not human. Hakikatnya manusia itu berubah dan tumbuh.

Sebelum menjelang akhir diskusi, Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. juga memberikan nasehat kepada para peserta supaya -sebagai manusia- jangan merasa benar. Mengapa? Karena jika kita merasa benar maka kita akan mandek. Ilmunya tidak bertambah. Padahal ilmu yang diperoleh hari ini itu tidak final. Pasti kurang. Kenapa? Karena kita adalah manusia yang pengetahuannya tidak sempurna. Maka, sempurnakanlah terus menerus. Grow! Dengan menambah ilmu. Perempuan begitu, laki-laki juga begitu. Jangan hanya puas dengan kondisimu saat ini.

Catatan:

Tentu tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis juga baru mengenal tokoh feminis Betty Freidan. Apabila ada yang kurang mohon dimaafkan dan dikoreksi. Semoga bermanfaat!

Terimakasih.


al-Faqir al-Dhaif

Laila Fajrin Rauf


________________
Sumber belajar          : Ngaji Filsafat ke-149 di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.

Narasumber              : Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag



Wednesday, December 27, 2017

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN



LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN
BIDANG OBSERVASI KELAS
Dibuat untuk memenuhi tugas laporan kegiatan kuliah kerja lapangan di SD Islam Sabilillah Malang Jawa Timur

Disusun oleh :
Laila Fajrin      1403096019

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
___________________________________________________________
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN
KULIAH KERJA LAPANGAN
SD ISLAM SABILILLAH MALANG JAWA TIMUR

BIDANG OBSERVASI KELAS
Laila Fajrin      1403096019

Telah diajukan pada tanggal 07 September 2016

Laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ini telah diterima untuk mendapatkan sertifikat KKL sebagai prasyarat mengikuti Ujian Komprehensif di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang  jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI).
Semarang, 07 September 2016

Dosen Pembimbing                                                                                     Ketua Jurusan

Kristi Liani Purwanti, S.Si, M.Pd                                                                H. Fakrur Rozi, M.Ag

_________________________________________________________________________________

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmad dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ini dengan baik. Ucapan terimakasih tidak lupa kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membimbing dan membantu kami selama proses observasi dan penyusunan laporan ini.
Mengutip kata pepatah bahwa “Tiada Gading yang Tak Retak”, kami menyadari bahwa dalam laporan ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan laporan yang telah kami buat. Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya.


                                                                                 Semarang, 07 September 2016


                                                                                             Penulis

_________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan proses mentransfer ilmu pengetahuan dari seorang guru  kepada siswa atau murid. Proses ini harus ditunjang dengan berbagai komponen-komponen pendidikan yang meliputi guru, siswa, sarana prasarana, media pembelajaran, materi pembelajaran, dan lain-lain. Agar proses pentransferan berjalan dengan efektif, efisien, dan menarik maka seorang guru juga diharuskan dapat menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada.
Sebagai pembelajaran sekaligus bekal menjadi seorang guru Madrasah Ibtidaiyah maka jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Walisongo Semarang mengadakan kuliah kerja lapangan di SD Islam Sabilillah yang berada di Malang Jawa Timur.



PELAKSANAAN KKL
A.    AGENDA
Hari/ Tanggal
Waktu (WIB)
Kegiatan
PJ
Ket.


Senin, 29 Agustus 2016








Senin, 02 November 2015
06.00-07.00
Checking peserta
Panitia

07.00-07.30
Menunggu Biro Bus Pemberangkatan
Panitia

07.30-18.00
Perjalanan ke Hotel Paradise + ISHOMA
Panitia

18.00-19.30
Istirahat di Hotel Paradise
Panitia

19.30-23.00
Refresing di BNS (Batu Night Spektekuler)
Panitia

07.00-09.00
Persiapan KKL+ Sarapan Pagi
Panitia

09.00-12.00
Acara KKL di SD Islam Sabilillah Malang
Panitia + Dosen Pendamping

14.00-15.00
ISHOMA
All

15.00-17.00
Refresing di Jatim Park 1
All

17.00-18.00
ISHOMA
Panitia





Selasa, 03 November 2015
18.00-24.00
Perjalanan ke Makam Gusdur
All

24.00-04.15
Perjalalan pulang + Sholat Subuh
All

05.00-09.00
Perjalanan ke Semarang
All


B.     RINCIAN KEGIATAN
1.                  Pra kegiatan  :
Sebelum melaksanakan kuliah kerja lapangan jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah mengadakan pembekalan KKL untuk angkatan 2014 pada hari Rabu, 24 September 2016. Acara pembekalan KKL ini dilaksanakan pada pukul 13.00 WIB di gedung dekanat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan lantai 3 UIN Walisongo Semarang. Setelah ketua jurusan dan sekertaris jurusan membuka dan mengawali acara pembekalan, turut hadir juga Ibu Asma’ul Husna, M.Ag, M.Pd sebagai pemantik atau pemateri tentang apa saja yang harus dilakukan saat kuliah kerja lapangan nantinya.
Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah berangkat KKL pada tanggal 29-31 Agustus 2016. Seluruh mahasiswa PGMI 2014 sampai di kampus II pukul 07.00 WIB. Kami yang terdiri dari 3 kelas (A, B, C) dengan jumlah 111 mahasiswa terbagi menjadi tiga bus. Setelah terkondisikan dengan baik, bus segera melaju menuju Malang pukul 07.30 WIB. Jarak tempuh Semarang – Jawa Timur di perkirakan 9 jam perjalanan. Sekitar pukul 13.30 WIB kami makan siang dan sholat dzuhur di sebuah rumah makan di Jawa Timur. Pukul 14.30 WIB mulai melanjutkan perjalanan menuju kota Batu, sampai di hotel Paradise sekitar pukul 18.00 WIB. Setibanya di hotel Paradise kami makan malam dan dilanjutkan beristirahat sejenak sambil membersihkan diri di kamar hotel yang telah di sediakan oleh panitia.
. Pukul 19.30 WIB seluruh mahasiswa sudah berkumpul di depan hotel untuk menuju tempat wisata BNS (Batu Night Spectakuler). Sebuah tempat permainan atau pasar malam yang terletak di kota Batu dan lokasinya tidak begitu jauh dari hotel Paradise. Semua mahasiswa dipersilahkan untuk menikmati berbagai wahana yang ada di BNS. Sekitar Pukul 23.00 WIB, para mahasiswa kembali ke hotel untuk beristirahat karena besok akan memasuki acara inti yaitu KKL di SD Islam Sabilillah Malang.
2.                  Proses kegiatan:
Pukul 08.00 WIB seluruh mahasiswa berangkat menuju tujuan KKL yaitu SD Islam Sabilillah Malang. Setelah sampai disana, seluruh mahasiswa disambut hangat oleh pihak SD Islam Sabilillah Malang. Kami di kumpulkan dan diberikan arahan untuk melakukan observasi. Kelas A mendapat tugas mengobservasi kelas. Kami berkeliling melihat situasi kelas dan menganalisisnya. Di dampingi oleh salah satu guru sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah di SD Islam Sabilillah Malang.
Setelah mengobservasi kelas, kami di bagi menjadi dua kelompok untuk mengadakan dialog interaktif antara pihak SD Islam Sabilillah Malang dengan pihak dosen dan mahasiswa program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Mereka menjelaskan gambaran umum tentang SD Islam Sabilillah Malang dan sejarah berdirinya SD Islam Sabilillah. Setelah pihak SD Islam Sabilillah selesai menerangkan, kami melakukan sesi tanya jawab.
Setiap proses pembelajaran di SD Islam Sabilillah Malang berbasis product. Terbukti pada setiap dinding koridor yang ada disana terdapat hasil buah tangan peserta didiknya seperti papan komik, dan hasil proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Kurikulum yang dipakai di SD Islam Sabilillah adalah Kurikulum 2013 di tambah dengan muatan lokal yaitu pendalaman 3 bahasa : bahasa Inggris, bahasa Arab dan bahasa daerah.
SD Islam Sabilillah merupakan salah satu SD swasta yang sudah memakai sistem sekolah full day sejak lama, akan tetapi kemasan kegiatannya yang berbeda dengan sekolah yang lain. Mereka lebih mengutamakan pendidikan karakter pada peserta didik. Pembelajaran agama yang dilaksanakan mendapat perhatian yang lebih dari pihak sekolah, mereka memiliki program tahfidz kelas rendah yaitu dari kelas 1 hingga kelas 3 (untuk yang wajib), bagi peserta didik yang ingin meneruskan menghafal al-Qur’an tetap bisa menghafalkan di kelas tinggi. Sampai sekarang selalu saja ada 90% peserta didik yang bertahan menghafal hingga lulus. Dalam melaksanakan program tahfidz ini, pihak sekolah bekerjasama dengan Pondok Pesantren PIQ Malang.
Selain itu di SD Islam Sabilillah juga mencanangkan gerakan sekolah bersih, jadi setiap memasuki kelas para siswa dan guru tidak mengenakan alas kaki (sepatu), mereka di sediakan rak sepatu untuk meletakkan sepatunya. Setiap kelas juga di fasilitasi dengan fasilitas yang memadai.
Proses pembelajaran di SD Islam Sabilillah Malang sudah menggunakan metode pembelajaran yang berbasis IT. Proses pembelajaran berlangsung sekitar pukul 07.00 WIB yang diawali dengan salam, senyum dan pemberian motovasi untuk menumbuhkan semangat para siswa dari pihak guru ke murid. Setiap guru dan siswa di SD Islam Sabilillah harus disiplin dan tepat waktu, karena itu merupakan kunci utama keberhasilan pembelajaran.
 Setiap proses pembelajaran yang dilakukan di SD Islam Sabilillah Malang selalu melibatkan berbagai pihak termasuk kedua orang tua siswa. Hal ini diharapkan untuk lebih mudah dalam proses KBM dan orang tua lebih paham karakter siswa, tidak hanya guru saja. Komunikasi yang terjalin antara pihak SD degan orang tua pun sangat erat, mereka memiliki wadah untuk berkomunikasi secara intens.
Di SD Islam Sabilillah Malang tidak mengenal yang namanya PR (Pekerjaan Rumah) maupun UTS (Ujian Tengah Semester), karena setiap bulan selalu dilakukan evaluasi terhadap para siswa dan juga gurunya. Mereka menyebutnya dengan laporan akuntabilitas atau laporan bulanan.  Sehingga selama jangka waktu sebulan, orang tua mengetahui perkembangan anak, dan guru juga dapat mengakomodir kemajuan anak dalam pembelajaran.
Tidak hanya siswa yang perlu belajar, dari pihak guru juga melakukan sistem pembelajaran dan selalu mengevaluasi berbagai pembelajaran yang telah dilakukan, apakah sudah benar atau masih ada yang kurang. Dalam hal ini semua guru tergabung dalam satu waktu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tak ayal dari berbagai kerjasama antara komponen pendidikan di SD Islam Sabilillah Malang menghasilkan suatu kerja nyata dalam memenangkan berbagai lomba tingkat Internasional maupun nasional.


ANALISIS PELAKSANAAN KKL
1.      Proses Pembelajaran
Sekolah Dasar Islam Sabilillah Malang merupakan salah satu dari berbagai macam sekolah dasar  favorit di Malang, Jawa Timur dan telah memiliki 4 elemen mulai dari tingkat TK, SD Islam, SMP Islam dan SMA Islam Sabilillah Malang.
Menurut kami, proses pembelajaran di SD Islam Sabilillah cocok untuk diterapkan di tingkat sekolah dasar, ditambah lagi dengan adanya ekstrakulikuler pramuka, olahraga dan kesenian. Materi yang digunakan pun cenderung bersifat mengaktifkan siswa yang dibantu dengan keaktifan guru pula dalam proses KBM. Tentunya dibarengi dengan berbagai model serta sarana prasarana yang memadai untuk menunjang kemampuan siswa.
2.      Materi Pembelajaran
Menurut kami, dalam pemberian materi di SD Islam Sabilillah sifatnya mengajak siswa untuk berperan aktif, penyampaiannya tidak hanya berada di kelas saja, akan tetapi juga melakukan wisata kunjungan untuk menambah wawasan dan pengetahuan siswa. Di SD Islam Sabilillah memproduksi sendiri semua hal yang sifatnya sebagai bahan ajar, seperti LKS, buku pegangan bahasa dan lain sebagainya.
3.      Metode Pembelajaran
Dalam pembelajaran di SD Islam Sabilillah menggunakan metode plan-do-evaluation. Sebelum mereka (para guru) melakukan pembelajaran, mereka menyiapkan tema yang akan disampaikansaja.
4.      Analisis Keseluruhan
Dari seluruh analisis yang kami paparkan diatas, maka kami menyimpulkan bahwasannya proses pembelajaran di SD Islam Sabilillah sudah mencapai standar, yakni dimana para peserta dapat memahami materi yang disampaikan guru dan ikut berperan aktif. Managemen kelasnya dan managemen pembelajarannya pun tertata dengan baik.



_______________________________________________________________________________

PENUTUP

A.    SIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan KKL Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) yang berlangsung di Jawa Timur telah berjalan dengan lancar.
B.     REKOMENDASI
Untuk kedepannya, kami berharap kepada seluruh mahasiswa jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah untuk dapat menciptakan suatu lingkungan belajar yang kondusif, efektif dan efisien. Dimana kegiatan tersebut menjadi hal penting yang dapat menjadi pelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan di UIN Walisongo pada umumnya, dan mahasiswa jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) pada khususnya.