Hari
Sabtu pukul 09.00 WIB, saya berhasil menuntaskan satu topik pembahasan di Ngaji
Filsafat dengan tema Perempuan Berbicara Perempuan atau sering di kenal dengan
istilah Feminisme. Kali ini, Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag yang belakangan saya tahu
bahwa beliau merupakan salah satu dosen Fakultas Ushuluddin di Kampus UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta menjelaskan tentang tokoh feminis dari Amerika Serikat yang
bernama Betty Friedan. Bagi teman-teman aktivis feminis pasti akrab dengan nama
Betty Friedan, atau bahkan sudah khatam membaca buku-buku karya Friedan yang
berbicara tentang perempuan dan keperempuanan.
Jujur,
saya baru berkenalan dengan Betty Friedan melalui penjelasan yang dipaparkan oleh
Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. Karena ada i’tikad sederhana untuk mengenang dan
mengingat materi atau kisah luar biasa dari Betty Friedan, akhirnya saya
memutuskan untuk menulis sedikit pengetahuan yang mampu saya serap dari
penjelasan beliau yang berdurasi sekitar 2 jam.
Siapa
Betty Friedan?
Betty
Friedan lahir di abad 20, tepatnya tahun 1921 dan meninggal dunia pada tahun
2008 di usianya yang ke 85. Friedan merupakan nama suaminya. Ditahun 1960,
Betty Friedan menulis satu buku yang berjudul Feminine Mystique. Dia adalah
seorang jurnalis yang aktif melakukan penelitian. Buku inilah yang akan menjadi
titik awal lahirnya gelombang baru dalam dunia feminisme. Dari sini juga
akhirnya muncul istilah emansipasi wanita. Betty Friedan juga mendirikan
organisasi yang visinya menyadarkan para perempuan.
Ada
gagasan apa di feminisnya Betty Friedan?
Pertanyaan ini menjadi dasar untuk
mengenal lebih jauh tentang pemikiran Friedan. Pemikiran Friedan dipengaruhi
dari hasil penelitiannya terhadap majalah maupun kora-koran yang di distribusikan
kepada masyarakat luas, khususnya majalah perempuan yang cenderung berbicara
tentang fashion, make-up, resep masakan maupun tips dalam berumah tangga.
Sedangkan majalah laki-laki berisi tentang informasi sepakbola, olahraga, atau
bisnis. Bagi Friedan, majalah-majalah ini menjadi salah satu bentuk dikotomi
yang akhirnya menjadi akar lahirnya bias gender. Bukankah, majalah itu adalah
majalah, tidak ada majalah berjenis laki-laki atau majalah berjenis perempuan.
Jika pikiran kita masih membedakan antara majalah perempuan dan majalah
laki-laki maka itulah yang ‘diserang’ oleh Friedan.
Kenapa perempuan perlu bergerak?
Karena, nasib perempuan tidak terlalu bagus. Sayangnya, masih banyak perempuan
yang tidak sadar akan hal tersebut dan cenderung menikmatinya. Friedan dalam
bukunya tidak menyerang laki-laki, tapi justru menyerang perempuan supaya sadar
dengan kondisi yang sedang dihadapi.
Mengutip
penelitian dari Robert Jackson dan George Sorensen (2006), dijelaskan beberapa
perbandingan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang. Di dunia
properti, perempuan hanya memiliki 1% properti dunia. Artinya, 99% properti
dunia atas nama laki-laki. 5% perempuan menjadi kepala Negara dan menteri dalam
kabinet. Perempuan menghabiskan kurang lebih 60% waktunya untuk bekerja, lebih
banyak dari bagian laki-laki yang hanya 40%. Akan tetapi, perlu di analisis
bersama bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan lebih banyak, lebih capek dan
cenderung ditempatkan di sektor yang tidak penting atau tidak cukup
berpengaruh. Dari pekerjaan yang berat tersebut, perempuan memperoleh gaji 10%
dari seluruh pendapatan. Perempuan juga mewakili 60% dari penyandang buta huruf
dan 80% dari seluruh pengungsi bersama dengan anak-anaknya.
Nah,
dari sinilah akhirnya muncul pembahasan tentang Filsafat Keadilan yang
berbicara Equity (Fairness). Setara tidak hanya diberikan
kesamaan, tetapi setara berarti diberikan keadilan. Situasinya bukan lagi
persamaan, karena posisinya dari awal sudah jomplang. Keadilan inilah
yang diperjuangkan oleh para feminis. Untuk itu dibutuhkan keberpihakan atau mainstreeming.
Kita
tentu faham, bahwa budaya kita ini dibentuk oleh mayoritas laki-laki atau sering
kita sebut “PERADABAN PATRIARKHI”. Sehingga dunia dibentuk versi laki-laki yang
kadang tidak peka dengan kebutuhan perempuan. Itulah yang akhirnya melahirkan
ketimpangan gender. Gender merupakan peran sosial laki-laki dan perempuan,
berbeda dengan seks yang bersifat kodrati. Karena gender ini merupakan peran,
maka gender dapat dibentuk melalui kesepakan. Sayangnya, meski melalui
kesepakatan, tugas perempuan jatuhnya sering tidak enak. Dalam buku teks Bahasa
Indonesia Sekolah Dasar misalnya, kita sering mendengar narasi yang berbunyi “Di
pagi hari, Ayah minum kopi sambil baca koran. Sedangkan ibu pergi ke pasar”.
Narasi ini tentu membentuk pandangan dalam masyarakat, bisa jadi sebelum
berangkat ke pasar, ibu harus memasak, mencuci dan menyapu. Sedangkan bapak cuma
minum kopi.
Sekedar
untuk menambah pengetahuan. Jika kalian pengagum filsuf pertama seperti
Aristoteles dan Plato, maka kalian harus tahu bahwa mereka mengatakan bahwa
perempuan adalah setengah manusia. Artinya, perempuan tidak menjadi sosok
manusia secara utuh dan penuh. Tidak berhak atas hak-hak yang semestinya harus
mereka dapatkan.
Problematika
Gender
Secara umum ada 5
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam gender, Yaitu :
Marginalisasi, peminggiran
perempuan dari dunia pendidikan, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Contohnya,
perempuan yang kuliah S3 akan sulit mendapatkan jodoh.
Double Burden atau
pemberian beban kerja yang lebih panjang dan berat.
Subordinasi, pandangan
bahwa perempuan merupakan sosok yang tidak penting. Perempuan hadir hanya
sebagai pelengkap bagi laki-laki.
Stereotip atau pelabelan
negatif. Misalnya, perempuan adalah sosok yang lemah, cerewet, manja dan tidak
dapat hidup mandiri.
Violance,
kekerasan yang berbentuk fisik maupun non fisik.
Lalu,
dari mana sumber problematika gender berasal?
Sumber problematika gender berasal
dari ideologi patriarkhi (peradaban laki-laki). Ideologi ini menempatkan
laki-laki sebagai superordinat dan perempuan sebagai subordinat. Ideologi
patriarkhi melahirkan stratifikasi gender, yaitu ketimpangan dalam pembagian
kekayaan, kekuasaan, dan prevelese antara laki-laki dan perempuan.
Stratifikasi gender ini yang mendorong lahirnya gerakan sosial dikalangan kaum
perempuan yang bertujuan untuk membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan.
Gerakan inilah yang di sebut sebagai FEMINISME. Feminisme lahir pertama kali di
Prancis pada abad ke-18 dan menyebar ke negara-negara di benua Eropa, Amerika
dan Asia.
Gerakan
feminisme mengalami 3 gelombang besar. First wave tahun 1846-1915. Perempuan mendapatkan
kesetaraan dihadapan hukum. Mereka memiliki hak pilih, kontrak kepemilikan dan legal
recognition. Second wave tahun 1960-1990. Perempuan memperoleh
kesetaraan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pekerjaan, upah, dan hak
reproduksi. Third wave, tahun 1990–present. Masa ini disebut era postmodern.
Tekanannya ada pada hal-hal kultural, keragaman dan lainnya. Nah, Betty Friedan
memiliki peranan yang besar di masa ke dua dan ketiga. Bahkan diakhir hidupnya,
Friedan sempat mengkritik feminis lesbian dan feminis radikal.
The Feminine Mystique
Buku Betty Friedan yang berjudul The
Feminine Mystique menjelaskan tentang rahasia feminis perempuan yang
tersembunyi. Di masa kehidupan Friedan, mayoritas masyarakat khususnya para
perempuan memiliki persepsi bahwa nilai tertinggi yang dimiliki perempuan
adalah komitmennya pada keperempuannya (yang orientasinya kedalam, seperti
memasak, bersolek, mencuci, momong anak dan sebagainya). Perempuan
dianggap hebat ‘cukup’ dengan berada di posisi ini. Bagi Friedan, pandangan ini
memenjarakan perempuan, karena perempuan yang tidak bisa masak, mencuci,
bersih-bersih dianggap memiliki nilai yang rendah.
Bahkan ada anggapan yang mengatakan
bahwa “to be a woman is to act like so. To be otherwise is to be unfeminine,
not-woman”. Perempuan dituntut melakukan hal-hal ‘keperempuanan’. Jika tidak
melakukannya, maka perempuan akan menjadi laki-laki. Tidak perempuan lagi. Jika
dia berkarya (bertanding) di lahan yang sama dengan laki-laki berarti dia ingin
menjadi laki-laki sehingga tidak akan bahagia di tengah masyarakat, perempuan
sejati hanya akan bahagia diranah domestik. Tentunya, ini menjadi narasi yang
menakutkan bagi perempuan untuk mengembangkan kemampuannya di sektor lain.
perempuan menjadi hanya terfokus untuk di berdiam diri di rumah, menjadi ibu
rumah tangga dan mengurus suami serta anak-anaknya.
Apakah
tidak boleh jika perempuan pandai masak, mengurus rumah, mencuci dan
lain-lainnya? Boleh.
Lalu
kenapa di permasalahkan oleh Betty Friedan?
The
Problem That Has No-Name
Betty Friedan melakukan
penelitian melalui narasi-narasi yang ada pada majalah, koran dan juga
mewawancarai para perempuan. Penelitiannya menghasilkan ketidakpuasan yang di
alami oleh para ibu rumah tangga dari kelas menengah atas yang tinggal di daerah
pinggiran (Suburban) dan pandangannya terhadap peran perempuan sebagaimana yang
digambarkan majalah-majalah perempuan saat itu. Menurut Friedan, perempuan saat
itu kurang tegas dan lebih berorientasi domestik (berkiblat pada hal-hal yang
bersifat keputrian dan kerumahtanggaan). Para perempuan cenderung memikirkan ‘Bagaimana
suamiku? Bagaimana anakku? Bagaimana rumah tanggaku?’. Orientasinya kedalam,
dia tidak berfikir pemenuhan dirinya sebagai manusia.
Hal-hal tersebut juga di dukung
dengan media televisi, majalah dan surat kabar yang menggambarkan sosok
perempuan idaman adalah yang pandai memasak, berdandan dan mengurus rumah. Para
editor majalah perempuan saat itu (era 1960-an) tampak mengasumsikan bahwa
perempuan tidak akan tertarik pada bidang politik maupun urusan dunia luar yang
lain.
Ada satu
paragraf yang diungkap Betty Friedan dalam buku The Feminine Mystique :
“The
problem lay buried. Unspoken. For many years in the minds of American woman. It
was a stronge stirring. A sense of dissatisfaction. A yearning that woman
suffered in the middle of the 20th century in the united states. Each Suburban
wife struggled with it alone. As she made the beds. Shopped for groceries ... She
was afraid to ask even of her self the silent question. –“is this all?”
Untuk
mempermudah pembaca, saya sertakan maksud dari paragraf diatas :
“Problem
ini terkubur. Tidak terkatakan. Bertahun-tahun dipikiran perempuan Amerika. Ini
adalah satu persoalan aneh yang campur aduk. Satu rasa tidak puas. Satu
kerinduan. Satu keinginan. Satu lamunan bahwa mengapa perempuan tersiksa di
abad 20 di Amerika. Setiap istri berjuang dengan problem ini sendirian. Saat
dia menata ranjang. Belanja untuk kebutuhan rumah tangga. Dia takut untuk
bertanya bahkan kepada dirinya sendiri. Satu pertanyaan diam-diam. –“Apa hanya
ini?” (yang dapat saya lakukan dalam hidup)
Akibatnya,
perempuan mengalami krisis identitas. Perempuan menjadi sulit memahami dirinya
sendiri dan sulit menentukan pilihan untuk mengikuti kata hati atau pikiran
yang tidak sejalan.
Krisis
Identitas Perempuan
Perempuan menghadapi krisis akan
peran apa yang sebenarnya harus mereka mainkan. Friedan mengingat keputusannya
yang pernah menghentikan karir demi mengurus anak-anaknya. Ternyata, ia melihat
kembali fenomena serupa pada perempuan muda yang masih bergelut dengan
keputusan yang sama. Friedan juga mengaca kepada pengalaman pribadinya. Dahulu
Friedan pernah memiliki kekasih yang memintanya berhenti kuliah dan memiliki
suami yang memintanya berhenti bekerja. Karena hal tersebut, Friedan membedakan
antara work dan job. Bagi Friedan, job adalah pekerjaan
yang menghasilkan uang, sedangkan work adalah karya, dan manusia perlu
untuk terus berkarya.
Banyak
perempuan yang memilih putus sekolah untuk menikah. Mereka khawatir, apabila
terlalu lama menunggu dan terdidik akan gagal membuat calon suami senang dan
terkesan. Banyak perempuan yang tidak menemukan penemuan dalam ruang sempit
mereka sebagai istri atau ibu. Dalam benaknya, perempuan dihantui rasa takut
bersalah, khususnya pada pemikiran “jika saya berpendidikan, dapatkah saya
membahagiakan keluarga?”
Betty
Friedan menyimpulkan bahwa perempuan modern di tahun 1960-an secara umum
mencita-citakan 3 hal; heart, home dan husband. Percintaan yang
romantis, rumah yang nyaman dan suami yang mapan. Perempuan menghilangkan
hasrat untuk hidup mandiri dan mencurahkan segala perhatian hanya untuk
mengurus suami, anak, dan rumah. Apakah yang di lakukan perempuan di masa itu
dianggap salah oleh Betty Friedan? TIDAK. Yang dilakukan perempuan
bukanlah hal yang salah. Hanya saja mereka tidak memikirkan diri sendiri. Tentu
Friedan tidak bermaksud menyalahkan suami maupun anak. Dia hanya ingin
mengatakan kepada perempuan “Ayo, pikirkan dirimu juga!”
Friedan
juga mengatakan bahwa para perempuan ini (diera 1960-an) hidupnya nyaman tapi
tidak terdorong untuk berkembang, berpendidikan tetapi tidak intelektual
(produktif), mereka hanya terobsesi untuk membuat anak, mengurus rumah dan dan
hal yang tidak penting. It this all? Apa hanya itu yang dapat dilakukan
perempuan?
Selain
pandangan perempuan yang masih tertutup, the sex-directed education juga
menjadi penghalang perjuangan feminisme karena mereka termasuk agen yang
melanggengkan inferioritas perempuan. Mereka adalah orang-orang terdidik,
terpelajar dan terpandang sehingga sulit untuk membantah argumennya. Mereka
fokus mengajarkan kepada perempuan tentang “apa yang boleh dilakukan” dan “apa
yang tidak boleh dilakukan”. Jika dianalisis, artinya mereka telah membuat
aturan supaya perempuan berkedudukan inverior atau dibawah laki-laki. Bukannya
mengajarkan supaya perempuan berpikir kritis terhadap prasangka popular yang
keliru tentang perempuan.
Dalam struktur yang meminggirkan perempuan,
akhirnya rumah menjadi comfortable concentration camp atau tempat
ternyaman. Freidan menggambarkan bahwa perempuan dipenjara tetapi merasa nyaman
karena mereka tidak sadar. Dengan berada di rumah, perempuan akan merasa bosan
dan menghabiskan waktunya untuk mengerjakan hal-hal yang kurang berarti atau
cenderung melelahkan. Parahnya, perempuan akan mengalami dehumanization and
passive nonidentity seperti kepasifan ego yang lemah, anti sosial, tidak
mampu berfikir abstrak, penolakan terhadap tujuan hidup, cita-cita dan ambisi.
Hasilnya, diri perempuan yang dikorbankan (the forfeited self). Perempuan
tidak punya kejelasan arah untuk masa depan, membunuh kemampuan dirinya dan
mengorbankan sisi kemanusiaannya.
Apa
yang harus dilakukan?
Betty Friedan menawarkan tugas utama yang harus
dilakukan, yaitu REMEDY. Membentuk ulang secara drastis tentang femininitas
yang bagus. Ada beberapa hal yang harus direalisasikan :
Upaya untuk membentuk
kembali image-image tentang makna perempuan dan keperempuanan.
Pemberhentian pernikahan
dini secara masif dan didukung oleh pihak keluarga (orang tua), pendidik,
pemerintah, editor majalah, dan lain sebagainya.
Perempuan hendaknya
dihentikan dari keinginannya untuk sekedar menjadi ibu rumah tangga dengan
jalan pemberian pendidikan yang tinggi atau setinggi-tingginya. Perempuan juga
berhak bermimpi dan mewujudkan mimpinya.
Tujuan dari remidy adalah supaya perempuan
menjadi manusia yang penuh, tidak hanya sebagai pelengkap laki-laki. Perempuan
juga bebas menentukan “what one is going to be” yang secara tradisional
menjadi ranah laki-laki. Perangkat kemanusiaan yang berupa akal, perasaan dan
kekuatan dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Yang membedakan hanya perihal ‘seks’
seperti menstruasi, hamil dan melahirkan. Berbicara politik, ekonomi, sosial,
budaya bukan berbicara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama berkedudukan
sebagai manusia. Simply to become fully human.
Kutipan
Nasehat dari Betty Freidan
Di bagian terakhir, saya ingin memberikan kutipan
yang dapat menjadi nasehat bagi kita, khususnya para perempuan di era postmodern.
Freidan mengatakan dalam bukunya :
“Tentu
saja ada banyak perempuan yang bahagia menjadi ibu rumah tangga dan keahlian
sepenuhnya adalah menjadi ibu rumah tangga. Namun, kebahagiaan itu tidak sama
dengan ‘kepenuhan hidup’ karena manusia bukanlah makhluk statis”
Maksudnya,
Freidan ingin menyampaikan bahwa sebagai perempuan janganlah merasa puas dengan
kesibukan di ranah domestik. Begitupun sebagai laki-laki, tidak lantas merasa
puas dengan kesibukan diluar rumah.
Freidan juga menasehatkan kalimat singkat yang
sarat makna “Grow or Die”. Tumbuh atau mati. Jangan menjadi manusia
statis yang mandek, tidak berkembang. Semakin hari, seharusnya semakin
baik dan baik, semakin berkualitas dan berkualitas. Jika tidak, maka you are
not human. Hakikatnya manusia itu berubah dan tumbuh.
Sebelum
menjelang akhir diskusi, Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. juga memberikan nasehat kepada
para peserta supaya -sebagai manusia- jangan merasa benar. Mengapa? Karena jika
kita merasa benar maka kita akan mandek. Ilmunya tidak bertambah. Padahal
ilmu yang diperoleh hari ini itu tidak final. Pasti kurang. Kenapa? Karena
kita adalah manusia yang pengetahuannya tidak sempurna. Maka, sempurnakanlah
terus menerus. Grow! Dengan menambah ilmu. Perempuan begitu, laki-laki
juga begitu. Jangan hanya puas dengan kondisimu saat ini.
Catatan:
Tentu
tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis juga baru mengenal tokoh
feminis Betty Freidan. Apabila ada yang kurang mohon dimaafkan dan dikoreksi.
Semoga bermanfaat!
Terimakasih.
al-Faqir
al-Dhaif
Laila Fajrin Rauf
________________
Sumber
belajar : Ngaji Filsafat ke-149
di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.
Narasumber
: Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag