PROBLEMATIKA SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Disusun guna
Memenuhi Tugas
Matakuliah : Karya Tulis
Ilmiah
Dosen Pengampu : Ubaidillah Ahmad, M.Ag
Oleh
Laila Fajrin 1403096019
PENDIDIKAN GURU
MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Peran pendidikan sangat
penting dalam kehidupan manusia, bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan
proses kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebutuhan manusia terhadap pendidikan
bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, bangsa dan
negara. Jika sistem pendidikanya berfungsi secara optimal maka akan
tercapai kemajuan yang dicita-citakaN, sebaliknya bila proses pendidikan yang
dijalankan tidak berjalan secara baik maka tidak dapat mencapai kemajuan yang
dicita-citakan.
Betapapun terdapat banyak
kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau
tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa
nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada
kontribusi pendidikan. Misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat
memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga
bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara
lain menyatakan: Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan
merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”. Namun
didalam dunia pendidikan sendiri banyak masalah-masalah pendidikan yang
dihadapi di era globalisasi ini. Baik itu masalah yang bersifat internal maupun
eksternal.
Makalah ini berusaha
mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan. Perlu pula
dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini
terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum menguraikan
permasalahan pendidikan islam di era globalisasi, terlebih dahulu disajikan
uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut terakhir ini
dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya terkait erat
dengan realisasi fungsi pendidikan
Indonesia merupakan negara
yang mutu pendidikannya masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara
lain bahkan sesama anggota negara ASEAN pun kualitas SDM bangsa Indonesia masuk
dalam peringkat yang paling rendah. Hal ini terjadi karena pendidikan di
Indonesia belum dapat berfungsi secara maksimal. Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia harus segera diperbaiki agar mampu melahirkan generasi yang memiliki
keunggulan dalam berbagai bidang supaya bangsa Indonesia dapat bersaing dengan
bangsa lain dan agar tidak semakin tertinggal karena arus global yang berjalan
cepat. Untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia diperlukan sistem pendidikan
yang responsif terhadap perubahan dan tuntutan zaman. Perbaikan itu dilakukan
mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Oleh
karena itu, bangsa Indonesia harus menggunakan sistem pendidikan dan pola
kebijakan yang sesuai dengan keadaan Indonesia.
Masa depan suatu bangsa
sangat tergantung pada mutu sumber daya manusianya dan kemampuan peserta
didiknya untuk menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Hal tersebut dapat
kita wujudkan melalui pendidikan dalam keluarga, pendidikan masyarakat maupun
pendidikan sekolah.
Saat ini pendidikan sekolah
wajib di terima oleh seluruh masyarakat Indonesia, karena dengan mengenyam
pendidikan kita dapat mengikuti arus global dan dapat mengejar ketertinggalan
kita dari bangsa lain. Namun dalam kenyataannya sekarang ini masih banyak orang
yang belum dapat mengenyam pendidikan sekolah karena faktor ekonomi. Akan
tetapi di dalam era global ini, hal tersebut tidak boleh terjadi karena akan
menghambat perkembangan SDM dan bangsa pada umumnya. Maka dari itu, pemerintah
Indonesia harus mengambil kebijakan yang dapat mengatasi masalah tersebut.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana sistem
pendidikan yang dianut di Indonesia?
2. Bagaimana implementasi kebijakan sistem pendidikan
nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sistem Pendidikan Yang Dianut Di
Indonesia
Indonesia sekarang menganut sistem pendidikan
nasional. Namun, sistem pendidikan nasional masih belum dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Ada beberapa sistem di Indonesia yang telah dilaksanakan,
di antaranya:[1]
1. Sistem Pendidikan Indonesia yang berorientasi pada
nilai.
Sistem pendidikan ini telah diterapkan sejak sekolah dasar. Disini peserta
didik diberi pengajaran kejujuran, tenggang rasa, kedisiplinan, dan sebagainya.
Nilai ini disampaikan melalui pelajaran Pkn, bahkan nilai ini juga disampaikan
di tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2. Indonesia menganut sistem pendidikan terbuka.
Menurut sistem pendidikan ini, peserta didik di tuntut untuk dapat bersaing
dengan teman, berfikir kreatif dan inovatif
3. Sistem pendidikan beragam.
Di Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa, daerah, budaya, dan lain-lain.
Serta pendidikan Indonesia yang terdiri dari pendidikan formal, non-formal dan
informal.
4. Sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu.
Di dalam KBM, waktu di atur sedemikian rupa agar peserta didik tidak merasa
terbebani dengan materi pelajaran yang disampaikan karena waktunya terlalu
singkat atau sebaliknya.
5. Sistem pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan
zaman.
Dalam sistem ini, bangsa Indonesia harus menyesuaikan kurikulum dengan
keadaan saat ini. Oleh karena itu, kurikulum di Indonesia sering mengalami
perubahan/pergantian dari waktu ke waktu, hingga sekarang Indonesia menggunakan
kurikulum KTSP.
a.
Problem di Bidang Pendidikan
Problem yang dihadapi bangsa Indonesia di bidang
pendidikan mencakup tiga pokok problem, yaitu:[2]
1) Pemerataan Pendidikan
Saat ini bangsa Indonesia masih mengalami masalah di bidang pemerataan
pendidikan. Hal tersebut dikarenakan pendidikan di Indonesia hanya dapat
dirasakan oleh kaum menengah ke atas. Agar pendidikan di Indonesia tidak
semakin terpuruk, maka pemerintah harus mengambil kebijakan yang tepat.
Misalnya, adanya kebijakan wajib belajar 9 tahun. Kebijakan ini dilaksanakan
dari mulai bangku SD hingga SMP. Pemerintah membuat kebijakan dengan meratakan
tenaga pendidik di setiap daerah.
2) Biaya pendidikan
Keadaan ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk berdampak pula pada
pendidikan di Indonesia. Banyak sekali anak yang tidak dapat mengenyam
pendidikan karena biaya pendidikan yang mahal. Maka dari itu, agar bangsa
Indonesia tidak semakin terbelakang. Pemerintah mulai mengeluarkan dana BOS,
yang diberikan kepada peserta didik di SD dan SMP. Hal tersebut dilakukan
dengan membebaskan biaya SPP atau membuat kebijakan free-school bagi pendidikan
dasar. Dengan dikeluarkan kebijakan tersebut, di harapkan semua pendidikan
dapat dirasakan di semua kalangan masyarakat Indonesia.
3) Kualitas Pendidikan
Selain
kedua masalah tersebut, permasalahan yang paling mendasar adalah masalah mutu
pendidikan. Karena sekarang ini pendidikan kita masih jauh tertinggal jika di
bandingkan dengan negara-negara lain. Hal tersebut di buktikan dengan banyaknya
tenaga pendidik yang mengajar namun tidak sesuai dengan bidangnya. Selain itu,
tingkat kejujuran dan kedisiplinan peserta didik masih rendah. Contohnya:
dengan adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan saat mengikuti Ujian
Nasional peserta didik cenderung pilih mendapat jawaban secara instan, misalnya
dengan membeli jawaban soal UN. Oleh karena itu, mutu pendidikan harus diperbaiki,
maka pemerintah membuat kebijakan yang berupa peningkatan mutu pendidik. Yang
dilakukan dengan cara mengevaluasi ulang tenaga pendidik agar sesuai dengan
syarat untuk menjadi pendidik. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan sarana
dan prasarana, misalnya memperbaiki fasilitas gedung, memperbanyak buku.[3]
Pendidikan
sangat penting pengaruhnya bagi suatu bangsa. Tanpa adanya pendidikan, maka
bangsa tersebut akan tertinggal dari bangsa lain. Sepeti halnya juga bangsa
Indonesia, pendidikan merupakan salah satu upaya yang dibutuhkan untuk mengejar
ketertinggalan dari bangsa lain khususnya bangsa-banga ASEAN. Maka pendidikan
Indonesia harus diperbaiki, baik dari segi sistem pendidikan maupun sarana
prasarana.
Indonesia
terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Saat
ini pemerintah mulai memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia dengan membuat
berbagai kebijakan dan merubah sistemnya. Pendidikan Indonesia saat ini
menggunakan sistem nasional yang meliputi sistem terbuka, sistem yang
berorientasi pada nilai, sistem pendidikan yang beragam, sistem pendidikan yang
disesuaikan dengan perubahan zaman dan sistem pendidikan yang efektif dan
efisien. Untuk menjalankan sistem tersebut, pemerintah mengeluarkan sistem
wajib belajar 9 tahun yang ditujukan untuk peserta didik SD dan SMP, adanya free-school.
Perubahan kurikulum dari waktu ke waktu yang disesuaikan dengan keadaan
pendidikan sekarang, memperbaiki sarana-prasarana, mengevaluasi kinerja tenaga
pendidik dan lain-lain. Dengan adanya upaya pendidikan di Indonesia dapat lebih
baik agar bangsa Indonesia dapat mengimbangi negara lain terutama negara-negara
ASEAN.
b. Kemadegkan Mutu Pendidikan Nasional
Dalam berbagai kesempatan, hasil dari proses sistem
pendidikan yang tengah dijalankan oleh Bangsa Indonesia masih jauh dari
harapan. Secara garis besarnya, fenomena itu di karena dua faktor utama yang
mempengaruhi. Dua faktor itu selanjutnya berbias kepada sistem yang lain di
bidang pendidikan. Dua faktor utama itu adalah dominasi pengaruh politik
di Indonesia atas sistem pendidikan dan kekaburan orientasi.
Pertama dominasi pengaruh politik yang masuk sampai
pada wilayah pendidikan. Diakui bersama bahwa pendidikan merupakan wilayah
pemberdayaan. Pemberdayaan bagi anak-anak Bangsa yang akan memimpin dan mengisi
pembangunan negeri ini secara baik. Apabila wilayah pendidikan sudah dimasuki
“virus-virus” politis, maka hasilnya akan menjadi naif bagi perkembangan bangsa
Indonesia khususnya bidang pendidikan. Berbagai temuan kasus dijumpai secara
eksplisit pada ujung-ujungnya adalah dominannya praktik-praktik politik atau
kepentingan dalam dunia pendidikan.
Mengkaji tentang praktik politik adalah berbicara pada
wilayah kekuasaan. Sementara, sangat mengenaskan apabila kekuasaan di dapat
dari jerih payah “biaya politik”. Kekuasaan yang diperoleh dari biaya tidak
jauh beda dengan rumusan ekonomi, yakni mendapat keuntungan besar dengan modal
yang sedikit. Selanjutnya pertanyaan akhir adalah bagaimana mengembalikan biaya
(baca: modal) dan keuntungan yang didapat ketika ada di kekuasaan. Untuk itu
wajar bahwa kasus pemberantasan korupsi di Indonesia sulit di cegah. Bahkan
berdasarkan hasil survei harian Kompas tanggal 17 November 2005 negara
Indonesia masuk peringkat ke-6 dari 159 negara yang tersurvei. Ini menunjukkan
budaya korupsi berjamaah masih mengakar kuat di negeri Indonesia. Demikian
juga, wacana bagi-bagi kekuasaan pun menjadi sebuah kewajaran.
Apabila fenomena tersebut tetap terpelihara dengan
baik, maka sikap profesionalitas pemimpin sulit diwujudkan. Karena perwujudan
profesionalitas pemimpin merupakan indikator dari bentuk akuntabilitas publik.
Bagaimana publik mampu bersikap akuntabel bila sikap profesionalisme tidak
dimiliki? Dari pertanyaan itu, kemudian memunculkan faktor kedua, yakni
kekaburan orientasi.
Orientasi pendidikan yang secara konstitusinya dibuat
seideal mungkin tercoreng akibat praktek-praktek korupsi, kolusi atau bagi-bagi
kekuasaan. Kenyataan itu pada dasarnya merugikan publik. Bagaimana tidak!
Syarat para penguasa atau pemimpin diterima oleh banyak kalangan adalah
berangkat dari bentuk-bentuk kompromistis belaka. Selanjutnya, kualitas dan
idealitas di keduakan atau bahkan tertelantarkan sama sekali. Yang tepenting
adalah mengakomodir semua kelompok tanpa di pertimbangkan profesionalitas. Akibatnya,
kualitas dan idealitas terabaikan demi kepentingan kekuasan.
Fenomena tersebut merupakan problem Bangsa Indonesia
yang menjadikan mutu pendidikan sulit untuk diwujudkan. Namun upaya demikian
bisa teratasi dengan baik apabila muncul dari kesadaran kolektif. Kesadaran
kolektif dari berbagai elemen masyarakat. Dan kesadaran itu diperoleh melalui
berbagai usaha dan fasilitas yang memungkinkan terbangunnya sebuah kesadaran
kolektif itu sendiri
Disamping harapan besar yang ada tersebut perlu juga
diiringi dengan penerapan sistem aturan yang tegas. Penegasan aturan diharapkan
dari embrio demokratisasi yang sudah mengejala di negeri ini. Dengan budaya
demokratisasi minimal akan memunculkan sikap keterbukaan, keteraturan dan
mengarah kepada tercapainya cita-cita bersama, yakni kemanusiaan, keadilan,
kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Potensi ini
merupakan modal untuk mewujudkan mutu pendidikan yang lebih baik dari hari
sebelumnya.
B.
Implementasi Kebijakan Sistem Pendidikan Nasional[4]
Disampaikan bahwa dalam
implentasinya, sistem pendidikan di Indonesia tidak lepas dari kondisi sosio
kultural dan politis Bangsa ini. Beuground historis menjadi landasan
yang tidak terpisahkan dalam prakteknya. Ketika memperhatikan sistem pendidikan
di negara Indonesia, dunia pendidikan sudah berkembang dalam sistem yang
dualistik antara pendidikan umum (nasional) di satu pihak dan pendidikan agama
di lain pihak.
Apabila ditinjau dari segi
historisitasnya, dualisme itu pada awalnya sudah eksis sejak masa penjajahan
Belanda. Namun sebagai refleksi, eksistensi kedua lembaga pendidikan itu
merupakan pergumulan dari dua basis politik Islam dan Nasionalisme yang sejak
awal kemerdekaan Indonesia tidak bisa dielakkan untuk melebur kedalam salah
satu sistem pendidikan yang ada. Sampai pada puncaknya ---dalam sejarah
mencatat--- benturan yang cukup serius terjadi saat penentuan dasar dan bentuk
negara Indonesia. Meskipun dalam kenyataannya terjadi rekonsiliasi dalam
formula negara yang berdasarkan Pancasila. Tetapi implikasi dualisme ideologis
itu berdampak terhadap dunia pendidikan. Fenomena itu tampaknya tidak
bisa dihapuskan dalam masa pendek. Disamping masalahnya cenderung bersifat
instrumental, juga karena secara realistik khususnya lembaga pendidikan
berbasiskan Islam memiliki akar historis yang sangat panjang di Indonesia,
bahkan jauh lebih panjang dari tradisi lembaga pendidikan berbasiskan umum yang
di dominasi oleh pendidikan nasional dewasa ini.
Atas berbagai fenomena dan
faktor historis yang ada tersebut, implementasi sistem pendidikan Indonesia
dikelola oleh dua Departemen. Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
(saat ini berganti nama menjadi Departemen Pendidikan Nasional) membawahi
pelaksanaan pendidikan yang di dominasi oleh pengajaran ilmu pengetahuan umum.
Sementara di sisi yang lain pelaksanaan pendidikan yang di dominasi pengajaran
ilmu pengetahuan Agama dikelola oleh Departemen Agama.
Usaha untuk memadukan sistem
pendidikan yang dualistik tersebut sebagaimana telah diusahakan di era
pemerintah Orde Baru. Namun usaha itu bukan merupakan sesuatu yang baru. Karena
pada masa awal abad ke-19 usaha ke arah itu sudah di mulai ketika gerakan
modernis Islam. Gerakan ini mencoba pada tahap usaha memperbaharui pendidikan
Islam dengan memasukkan mata-mata pelajaran baru (umum) dan memperkenalkan
sistem didaktik metodik ala “Barat”.Gagasan itu dilakukan mengingat
ketertinggalan ilmu pengetahuan umat Islam tertinggal jauh dengan Bangsa Barat.
Akibat ketertinggalan itu dikarenakan orientasi pendidikan umat Islam lebih
mengarah pada persoalan-persoalan ukhrowiyah (ke-akhirat-an), sementara
pendidikan dikalangan umat Islam mengabaikan pada penguasaan ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan hal-hal duniawiyah (ke-dunia-an). Gerakan
modernisme Islam mencoba melakukan penggabungan penguasaan ilmu pengetahuan
dengan mengorientasikan kepada dua hal itu (dunia dan akherat). Dasar
pembaharuan dalam pendidikan dikalangan umat Islam pun perlu dilakukan
perombakan keorientasian. Usaha pembaharuan itu diwujudkan dengan mencoba
menggabungkan ilmu pengetahuan yang berorientasi keduniaan dan ilmu pengetahuan
yang berorientasi keagamaan secara seimbang.
Disamping ketidakbaruan
pemerintahan Orde Baru dalam usaha penggabungan dualistik sistem pendidikan di
Indonesia dan juga tidak menuai hasil memuaskan karena usaha itu diorientasikan
lebih bersifat network. Padahal, kedua institusi itu memiliki orientasi
yang berbeda. Bisa dilihat pemberian materi pelajaran di lembaga pendidikan
yang dikelola oleh Diknas. Hingga saat ini, jam pelajaran keagamaan masih belum
sebanding dengan materi pelajaran lain, demikian juga sebaliknya. Juga terkait
dengan persoalan pembiayaan dan manajemen manajemen yang tidak seimbang.
Sebagai contoh dalam persoalan pendanaan di lembaga pendidikan yang di kelola
oleh Departemen Pendidikan Nasional memperoleh banyak kesempatan untuk
mengembangkan sarana dan prasarana pendidikan. Berbeda dengan lembaga
pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama.
Karena tanggung jawab Depag
cukup beragam selain menangani masalah pendidikan yang dikelolanya. Akibat
beragamnya tanggungjawab Depag berimbas pada perolehan dana yang dialokasikan
pengelolaan pendidikannya pun menjadi terbatas. Minimnya perolehan aliran dana
ke lembaga pendidikan yang berbasiskan ilmu pengetahuan keagamaan ini, lembaga
itu tidak bisa berbuat banyak untuk mengembangkan sarana dan prasarananya
secara maksimal. Maka, yang terjadi sebuah jurang pemisah yang sangat dalam dan
lebar antara lembaga pendidikan di bawah naungan Depag dengan lembaga
pendidikan di bawah naungan Diknas.
Usaha yang cukup monumental
karena boleh dinilai cukup revosioner adalah pada masa pemerintahan KH.
Abdurrahman Wahid. Di saat presiden Gus Dur (panggilan akrab KH. Abdurrahman
Wahid) menyusun Kabinetnya. Beliau berani mengubah salah satu nama Departemen
yang selama 32 tahun menangani tentang pelaksanaan pendidikan nasional yakni
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) diganti nama menjadi
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan berganti nama itu,
diharapkan juga akan berganti orientasi dalam mengelola pendidikan nasional.
Untuk itu banyak kalangan para pengamat menilai bahwa perubahan nama departemen
ini memiliki makna dan implementasi tertentu terhadap dunia pendidikan di
Indonesia. Boleh jadi implementasi pendidikan di Indonesia yang selama ini
masih dualistik dan memiliki orientasi yang berbeda dilebur dalam satu “atap”
atau satu Departemen.
Penilaian tersebut mungkin
juga mendekati kebenaran tatkala dalam berbagai kesempatan Presiden Gur Dur
menyampaikan pandangan untuk menempatkan apa yang disebut sebagai
sekolah-sekolah agama ke bawah sistem pendidikan nasional. Bisa jadi ide itu
mempertimbangkan kebutuhan Indonesia yang masih memerlukan perhatian serius
tentang rendahnya kualitas SDM apabila dibandingkan dengan kualitas SDM negara
lainnya. Disamping mempertimbangkan hal itu, juga terkait munculnya kepentingan
global. Sebab, kepentingan global mampu memberikan dampak yang cukup signifikan
pada pola kehidupan umat manusia diseluruh penjuru dunia tanpa terkecuali.
Kepentingan global menjadi
perhatian karena salah satu dampak yang ditimbulkan adalah terbangunnya
jaring-jaring komunikasi yang sangat intensif antar satu masyarakat dengan
masyarakat lain. Apalagi intensitas komunikasi ini ditunjang dengan kemajuan
teknologi khususnya kecanggihan teknologi komunikasi. Bisa jadi akibat dari
intensitas komunikasi akan menyebarnya kepentingan maupun misi-misi suatu
kelompok atau negara tertentu dengan mudah. Akibat mudahnya sosialisasi
tersebut, menjadikan suatu masyarakat apabila tidak memiliki SDM berkualitas
maka bisa jadi akan terbawa dan ikut arus dengan kepentingan tersebut. Untuk
itu perlunya mempertegas sistem pendidikan kondusif, sehingga mampu
menghasilkan SDM yang berkualitas. Disamping sistem kebijakan yang kondusif
juga perlu suatu sistem pendidikan progresif. Progresifitas pendidikan perlu
menjadi pandangan agar orientasi pendidikan mampu merespon perkembangan
zamannya.
a)
Maraknya Demo Dan Isu Sekitar Pendidikan[5]
Bukan rahasia lagi bahwa antara output dan outcome
yang dihasilkan oleh sebuah proses lembaga pendidikan di Indonesia tidak
memuaskan dari tahun ketahun. Maka tidak heran bahwa demopun tidak
terhindarkan, walaupun masih dalam koridor yang wajar. Demo yang kritis
muncul karena distorsi di bidang pendidikan di tiap wilayah berbeda di
Indonesia. Kita tidak bisa membandingkan kualitas pendidikan di Papua dan di
Jakarta. Itu tidak ubahnya membandingkan kecepatan lari kuda dengan siput. Semua
orang tahu bahwa ada disparitas. Lalu ketika ada ujian nasional yang
terstandarisasi, kita memakai standar yang mana? Ada yang dilupakan oleh para
penentu kebijakan pendidikan di Negara ini, yakni filosofi pendidikan,
hasil ujian bukanlah salah satu indikator keberhasilan pendidikan. Proses
sebuah pendidikan jauh lebih esensial. Maka keberhasilan pendidikan juga
tidak bisa dilihat dari kertas nilai hasil ujian dengan nilai sekian dan ada
cap LULUS (yang ditentukan pemerintahan.
Pendidikan adalah proses membangun manusia seutuhnya.
Bukan hanya membangun kecerdasan (intelektual) belaka, tapi juga membangun dan
meningkatkan afeksi dan motorik. Pemerintah tentu tidak perlu diajari
lagi masalah ini.
Akhir-akhir ini muncul lagi kebijakan yang meresahkan
lembaga pendidikan swasta. Ditetapkannya BHP yang mana oleh pemerintah dianggap
sebagai instrument untuk menakar pendirian dan rekrutmen peserta didik
dalam suatu wilayah, sangatlah memberatkan. Lembaga swasta adalah lembaga
independent yang mencari peluang dari menjual kualitas jasa pendidikan. Jika
dibatasi, diatur dengan Permen dan ketentuan lain, akan banyak lembaga
pendidikan swasta yang gulung tikar. Selanjutnya akan muncullah
peodalisme pendidikan. Sekolah negeri dengan materai milik pemerintah akan
menjadi raksasa di wilayah pendidikan? Jelas adalah kebijakan yang tidak arif
dan melanggar Undang-Undang Dasar 1945 tentang kemerdekaan setiap warga untuk
mendapatkan pendidikan.
Selama kurun waktu hampir 60 tahun lebih sejak
Indonesia merdeka, sekolah swasta adalah mitra kerja dalam upaya memajukan
pendidikan di tanah air Indonesia. Kalau boleh jujur, sekolah swasta bahkan
merupakah pilihan utama (primadona) masyarakat dalam menentukan dimana anaknya
harus disekolahkan. Swasta yang tertib, desiplin, lengkap sarananya, dan
lain-lain, merupakan image positive yang tidak bisa dilihat sebelah mata. Maka
adalah tidak fair jika kemudian ada aturan semacam BHP. Adakah
pemerintah akan menjadikan proses pengembangan baik kuantitas maupun kualitas
pendidikan dengan pendirian dan rekrutmen siswa sebagai proyek? Hanya yang
memikirkan BHP yang tahu jawabnya. Jika itu maksud dan tujuannya maka
niscaya Negara kita ini akan semakin terpuruk dan terperosok dalam lubang
problematika antara mutu dan proyek para pemegang otoritas.
Tidak kalah ramainya, terkait dengan Kurikulum
berbasis KTSP yang berbanding linear dengan pelaksanaan desentralisasi. Yang
benar saja. KTSP kini menjadi sebuah “ Joke”. KTSP bukanlah
kepanjangan dari kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, namun “Kurikulum Tidak
Siap Pakai.” Tentu gunjingan ini sangat beralasan. Semua perubahan
instrument yang dirujuk oleh Pemerintah tak lebih hanyalah sebuah inovasi”
trial and error”. Hal hasil, semakin tampak bahwa karakter dan mutu pendidikan
kita semakin tidak jelas arah dan tujuannya.
Isu-isu kritis pengembangan dan pembinaan profesi guru
dan tenaga kependidikan juga mempengaruhi kurangnya mutu pendidikan di
Indonesia. Sebelumnya, membuka kuliah umum ini, Ir. Maruli Gultom, rektor
Universitas Kristen Indonesia Jakarta, menyampaikan bahwa pendidikan di daerah
terpencil harus diperhatikan oleh pemerintah. Beliau menyampaikan bagaimana
FKIP UKI pernah melakukan kerjasama dengan PT. Astra Tbk., untuk mengadakan
survey dan assessment sekolah-sekolah binaan Astra, dan dari hasil assessment,
FKIP UKI melakukan tindakan nyata dengan malakukan pelatihan soft skill
dan hardskill guru-guru di sekolah-sekolah binaan. Hasil dari pelatihan
tersebut, sekarang sekolah-sekolah binaan tersebut menjadi sekolah unggulan di
daerahnya.
Isu-isu kritis tersebut diantaranya menyinggung
otonomi daerah, kualifikasi dan penilaian kinerja guru, pembinaan karir guru.
Sekarang ini pengelolaan guru desentralisasi karena otonomi daerah. Hal ini
menjadi kendala dalam distribusi guru dan kebijakan-kebijakan yang lain dalam
hal pemerataan baik secara kualitas apalagi secara kwantitas dan matapelajaran.
Apakah perlu disentralisiskan? Kemungkinan lebih baik, tapi harus adanya
Peraturan Pemerintah atau Revisi UU No. 32 tentang Otomoni daerah.
Kualifikasi guru juga salah satu isu penting yang
harus segera diperhatikan pemerintah. Data sekarang, 48.69% guru belum S1/D4,
dan banyak yang belum linier, serta sebanyak 70% guru juga belum memiliki
sertifikat pendidik. Ditambah lagi Penilaian Kinerja Guru (PKG) belum jelas
pemetaan peran tentang pelaksanaan dan sistem pengendaliannya. Hal ini
menyebabkan tidak bisa berlanjutnya Penilaian Kinerja Berkelanjutan karena
belum ada database berbasis sistem informasi dan kurikulum untuk setiap jenjang
kepangkatan. Selain itu, pelaksanaan pembinaan dan system kenaikan pangkat
dilakukan secara manual dan konvensional, bahkan pengangkatan kepala sekolah
belum berdasarkan karir. Belum lagi sistem perlindungan terhadap profesi guru
masih sangat minim, terutama di sekolah swasta.
Tunjangan guru juga perlu diperhatikan mengingat yang
terjadi sekarang adalah masih menjadi masalah pada mekanisme pembayaran,
komitmen daerah untuk pembayaran, dukungan data base lemah, juga terjadi
kelemahan pada pengawasandan pengendalian, dan tunjangan yang seharusnya
berdampak pada peningkatan kinerja belum tampak.
Isu strategis yang lain adalah peningkatan pendidikan
di daerah khusus, yaitu daerah-daerah yang masih belum tersentuh pendidikan
yang layak. Hal ini menjadi perhatian karena sekarang ini belum ada kriteria
daerah khusus yang menyebabkan kualifikasi dan kompetensi guru sangatlah lemah.
Yang perlu diperhatikan lagi adalah mengenai guru
honor (Guru Bantu, HONDA, GYT, dan GTT) dan asosiasi profesi guru karena belum
adanya regulasi guru honor dan pendirian asosiasi profesi yang menyebabkan
tidak optimalnya pembinaan profesi. Seharusnya ada regulasi bagi guru honor dan
perlindungan dan pembinaan profesi. Isu isu kritis ini perlu diperhatikan
pemerintah dalam membuat undang-udang dan kebijakan-kebijakan untuk peningkatan
mutu pendidikan Indonesia. Dihimbau juga kepada para peneliti atau praktisi
pendidikan agar melakukan penelitian tentang isu-isu tersebut sehingga
tersedianya data yang memberikan kontribusi bagi kebijakan pemerintah.
b)
Ketimpangan dalam penyediaan Mutu dan Jasa Pendidikan[6]
1.
Tidak semua anak bersekolah.
Indonesia
masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun bagi semua anak. Saat
ini masih terdapat sekitar 20 persen anak usia sekolah menengah pertama yang
masih belum bersekolah. Perbedaan partisipasi antar daerah yang cukup besar.
Pada tahun 2002, sebagai contoh, angka partisipasi murni pada jenjang sekolah
dasar berkisar antara 83,5 persen di propinsi Gorontalo dan 94,4 persen di
Sumatera Utara. Pada jenjang sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni
berkisar antara 40,9 persen di Nusa Tenggara Timur dan 77,2 persen di Jakarta
dan pada jenjang sekolah menengah atas berkisar antara 24,5 persen di Nusa
Tenggara Timur dan 58,4 persen di Yogyakarta.
2.
Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah lebih dini.
Pada tahun
2002 angka partisipasi sekolah menengah pertama dari kelompok penduduk
seperlima terkaya, lebih tinggi 69 persen dibandingkan dengan angka partisipasi
dari kelompok seperlima termiskin. Sementara pada jenjang sekolah menengah
atas, angka partisipasi murni dari kelompok seperlima terkaya mencapai tiga
setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi murni kelompok
termiskin. Walaupun hamper semua anak dari berbagai kelompok pendapatan
bersekolah di kelas satu sekolah dasar, anak dari kelompok pendapatan termiskin
cenderung menurun partisipasinya setelah mencapai kelas enam.
3.
Kualitas sekolah di Indonesia masih rendah dan cenderung memburuk.
Selama ini
ekspansi sekolah tidak menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keahlian
yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang kokoh dan ekonomi yang
kompetitif di masa depan. Bukti ini ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan
murid tingkat 8 (SMP kelas 2) dibandingkan dengan negara tetangga Asia pada
ujian-ujian internasional di tahun 2001 (lihat tabel 1). Telihat cukup jelas
bahwa ekspansi partisipasi sekolah di Indonesia tidak diikuti dengan
peningkatan kualitas.
4.
Persiapan dan kehadiran tenaga pengajar yang masih kurang.
Berbeda
dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkansemua lulusan institusi
pendidikan keguruan menjadi tenaga pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam
hal kesiapan untuk memberikan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi
sekolah yang beragam. Pada waktu yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan
tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar. Lebih jauh, berdasarkan survei yang
dilakukan untuk Laporan Pembangunan Dunia 2004, 20 persen tenaga pengajar
Indonesia tidak masuk sekolah pada saat pengecekan di sekolah-sekolah yang
terpilih secara random. Ini berarti 20 persen dari dana yang digunakan untuk
membiayai tenaga pengajar tidak memberikan manfaat secara langsung kepada
murid, karena ternyata tenaga pengajar tersebut tidak berada di kelas.
5.
Pemeliharaan sekolah-sekolah tidak dilakukan secara berkala.
Berdasarkan
data survei sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional, satu dari enam sekolah
di Jawa Tengah berada dalam kondisi yang buruk, sementara itu sedikitnya satu
dari dua sekolah di Nusa Tenggara Timur juga berada dalam kondisi yang
memprihatinkan. Murid-murid berada di ruang kelas tanpa peralatan belajar yang
memadai, seperti buku pelajaran, papan tulis, alat tulis, dan tenaga pengajar
yang menguasai materi pelajaran sesuai kurikulum.
Mutu pendidikan kita secara nasional dapat dikatakan masih sangat
memprihatinkan. International Education Achievement (IEA) memperlihatkan
kemampuan mambaca siswa SD Indonesia menempati urutan 30 dari 38 negara.
The Third International Mathematics and Science Study Report (1999) melaporkan
kemampuan siswa Indonesia dalam bidang matematika dan IPA berurutan menempati
urutan 34 dan 32 dari 38 negara. UNDP, badan pembangunan PBB,
melaporkan Human Development Index (HDI, Indeks Pembangunan Manusia), tahun
2002 dan 2003 berurutan menempati urutan 110 dari 173, dan 112 dari 175
negara. HDI adalah salah satu komponennya indeks pendididkan.
Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan kita sebagai
Negara yang sudah cukup lama merdeka masih sangat rendah. Inilah adalah fakta
yang jika tidak dengan arif dan bijaksana diformulasikan pemerintah dan para
pemegang otoritas di bidang pendidikan dan dilaksanakan dengan
tanggungjawab, maka Negara ini tidak akan pernah maju dan berkembang di
tengah kompetisi Negara-negara berkembang lainnya.
Kembali kepada visi dan misi pendidikan awal yang telah diletakkan
secara fundamental oleh Bapak Pendidikan nasional kita, Ki hajar Dewantara, dan
mengkemas strategi Pengembangan Pendidikan yang sesuai dengan kultur
Bangsa dan selektif dengan kemajuan IPTEK, adalah jawabannya. Kita tidak ingin
hanyut di tengah derasnya gelombang kompetisi global, namun berupaya ikut
secara alami maju bersama gelombang tanpa menghilangkan karakter bangsa yang
Adiluhung ini.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ada beberapa
permasalahan dalam pendidikan di Indonesia. Problem yang dihadapi bangsa Indonesia di bidang pendidikan mencakup tiga
pokok problem, yaitu:
1. Pemerataan Pendidikan
2. Biaya pendidikan
3. Kualitas Pendidikan
Disampaikan pula
bahwa dalam implentasinya, sistem pendidikan di Indonesia tidak lepas dari kondisi
sosio kultural dan politis bangsa ini. Beuground historis menjadi
landasan yang tidak terpisahkan dalam prakteknya. Ketika memperhatikan sistem
pendidikan di negara Indonesia, dunia pendidikan sudah berkembang dalam sistem
yang dualistik antara pendidikan umum (nasional) di satu pihak dan pendidikan
agama di lain pihak. Semoga kedepannya pendidikan di Indonesia semakin baik.
B. KRITIK
SARAN
Demikian makalah ini
kami buat. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami butuhkan.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan pembaca pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono, (1994).
Pendidikan dan Latihan Dalam Periode Tinggal Landas. Mimbar Pendidikan, No. 1 Tahun
XIII.
Dertouzas, M.L., Lester, R.K., dan
Solow, R.M., (1989). Made In America: Regaining the Productive Edge. Cambridge,
MA: Harper Perennial.
Simanjuntak, P., (1985). Pengantar
Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia.
Suryadi, A. (1995). Kebijaksanaan
Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia: Transisi Menuju era Indonesia
Modern. Jakarta: Pusat Informatika, Balitbang Dikbud
[1] Boediono,
(1994). Pendidikan dan Latihan Dalam Periode Tinggal Landas. Mimbar
Pendidikan, No. 1 Tahun XIII.
[2] Simanjuntak,
P., (1985). Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
[3] Simanjuntak,
P., (1985). Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
[4] Simanjuntak,
P., (1985). Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
[5] Suryadi,
A. (1995). Kebijaksanaan Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia:
Transisi Menuju era Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Informatika, Balitbang
Dikbud
[6] Dertouzas,
M.L., Lester, R.K., dan Solow, R.M., (1989). Made In America: Regaining the
Productive Edge. Cambridge, MA: Harper Perennial.
No comments:
Post a Comment